“Mantra Sufi” Ibnu Atha’illah
Sebuah karya monumental Ibnu Atha’illah hadir dalam pergumulan masyarakat muslim. Adalah kitabnya yang begitu terkenal, Al Hikam, yang bagi banyak orang pesantren masuk dalam kategori kitab “sakral”. Dalam tiap bait Al Hikam inilah, Ibnu Atha’illah menuangkan imajinasi spiritualnya begitu jernih.
Adalah buku “Sufisme Ibnu Atha’illah”,buah tangan Victor Danner, yang merangkum pemikiran sufistik Ibnu Atha’illah. Buku ini, menerangkan beberapa karya beliau yang didalamnya mengandung nilai sufisme. Diantaranya adalah kitab Al-Hikam yang sering di kaji dalam pesantren salaf maupun modern. Di dalam Al-Hikam mempunyai nilai etika yang luar biasa, sehingga membuatnya berbeda dengan kitab yang lain. Ada beberapa bagian penting dalam kitab ini, pertama, dalam ajarannya terdapat kombinasi ajaran sufi yang begitu mendalam dan keluwesan bahasanya yang memberikan ciri khas al-hikam. Ia tidak hanya memuat integralitas doktrin sufi pada semua level, tapi juga umumnya memberikan daya tarik pada semua golongan umat muslim. Perpaduan pemikiran dan bahasa yang luwesa membuat al-hikam menjadi karya yang universal serta memorizable. Mungkin segi inilah yang membedakannya dengan karya karya lainnya yang sejenis.
Bagian penting yang kedua dari kitab Al-Hikam adalah ia tersusun dari empat risalah ringkas yang ditulis oleh Ibnu ‘Athoillah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para muridnya kepadanya. Risalah-risalah itu ditulis dengan gaya bahasa Arab yang jelas. Sekilas, mungkin orang menduga bahwa risalah itu dibubuhi dengan apa yang dinamakan aforisme secara tepat oleh orang lain. Tetapi dugaan itu termentahkan oleh perasaan yang mengatakan bahwa risalah-risalah itu sebagai bagian selingan karya antara bagian struktur aforisme dengan bagian munajat yang sama-sama ringkas tersebut. Dengan kata lain, setelah bagian aforisme yang banyak itu membutuhkan konsentrasi maksimal, kemudian ketegangan konsentrasi itu disirami dengan risalah ekspansif yang mengendurkan ketegangan pikiran. Risalah-risalah itu membentuk sebagai bagian organik secara keseluruhan.
Ketiga dan bagian terakhir adalah munajat. Bagian ini disusun dengan formulasi ringkas sebagaimana bagian sebelumnya. Munajat dilakukan kepada Allah SWT secara rahasia, yaitu dilakukan dengan batin. Seringkali munajat-munajat itu dilakukan berupa pertanyaan-pertanyaan paradoksal yang dimintakan dari Allah. Kepatuhan total dan kemiskinan spiritual seorang hamba kepada tuhannya merupakan tema pokok yang ada pada bab munajat. Sebagai bagian dari aforisme dan risalah, munajat melukiskan keadaan jiwa yang telah menemukan intinya dan terbuka mau menerima kepada Tuhan dan dalam term mendalamnya pada pencipta. Kegiatan kontemplasi (tafakur) setidaknya menemukan mata semburan dalam pusat jiwanya sehingga menjadikan jiwa yang tenang serta tentram. Pertanyan-pertanyaan dan seruan-seruan paradoksal dalam munajat adalah benar-benar demi kepentingan orang lain, bukan untuk kepentingan diri pribadi semata. Bagian munajat ini tampaknya cocok untuk menjadi bagian terkhir karya tersebut.
Ibnu Atha’illah bertutur begitu rapih tentang sufisme terapan, bagaimana menggapai spiritualitas dalam beragama. Kita seharusnya mengerti bahwa sufisme merupakan esensi dari agama islam itu sendiri. Nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalam ajaran tasawuf mampu mengubah tatanan kehidupan seseorang.
Dengan demikian sangatlah cocok apabila ajaran sufisme Ibnu ‘Athoillah itu berkembang di zaman sekarang ini. Dengan bisingnya kehidupan yang serba hedonis ini, mungkin sufisme mampu memberikan ketenangan jiwa-jiwa yang dilanda kekosongan spiritualitas.
Tuesday, June 7, 2011
10:35 PM
No comments
0 comments:
Post a Comment