Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hambal. Beliau adalah Imam yang keempat dari fuqahak Islam. Beliau
memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi.
Ahmad bin
Hambal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164H. Beliau
termasyhur dengan nama datuknya Hambal, karena datuknya lebih masyhur dari
ayahnya.
Ibnu Hambal
hidup dalam keadaan miskin, karena ayahnya hanya meninggalkan sebuah rumah
kecil dan tanah yang sempit. Beliau terpaksa melakukan berbagai pekerjaan.
Beliau pernah bekerja di tempat tukang jahit, mengambil upah menulis, menenun
kain dan kadangkala mengambil upah mengangkat barang-barang orang. Beliau lebih
mementingkan makanan yang halal lagi baik dan beliau tidak senang menerima
hadiah-hadiah.
Ketika ia masih
berumur 14 tahun, Ahmad bin Hambal telah belajar mengarang dan menghafal
Al-Quran. Beliau bekerja keras dalam menuntut ilmu pengetahuan. Sebagai seorang
ulama yang sangat banyak ilmunya, Ibnu Hambal pun seorang yang teguh imannya,
berani berbuat di atas kebenaran. Dia tidak takut bahaya apa pun terhadap
dirinya di dalam menegakkan kebenaran itu. Karena Allah memang telah menentukan
bahwa setiap orang yang beriman itu pasti akan diuji keimanannya. Termasuk juga
para nabi dan rasul yang tidak pernah lepas dari berbagai ujian dan cubaan.
Ujian dan
cubaan berupa fitnah, kemiskinan, seksaan dan lain-lainnya itu selalu akan
mendampingi orang-orang yang beriman apalagi orang yang menegakkan kebenaran.
Demikian juga halnya dengan Imam Hambali, terlalu banyak bahaya yang
dihadapinya dalam berjuang menegakkan kebenaran agama. Ujian itu datangnya
bermacam-macam kadangkala dari musuh kita dan dapat juga timbul dari
kawan-kawan yang merasa iri dengan kebolehan seseorang.
Imam Hambali
berada di zaman kekuasaan kaum Muktazilah yang berpendapat bahwa Quran itu
adalah makhluk. Pendirian ini begitu kuatnya di kalangan pemerintah, sehingga
barangsiapa yang bertentangan pendirian dengan pihak pemerintah tentu akan
mendapat seksaan. Sebelum Al-Makmun ini, yakni di zaman sultan Harun Al-Rasyid,
ada seorang ulama bernama Basyar Al-Marisy berpendapat bahwa Quran itu adalah
makhluk. Baginda Harun Al-Rasyid tidak mau menerima pendapat tersebut. Bahkan
terhadap orang yang berpendapat demikian akan diberi hukuman. Karena ancaman
itu akhirnya Basyar melarikan diri dari Baghdad.
Sultan Harun
Al-Rasyid pernah berkata: “Kalau umurku panjang dan masih dapat berjumpa dengan
Basyar nescaya akan kubunuh dia dengan cara yang belum pernah aku lakukan
terhadap yang lain?” Selama 20 tahun lamanya Syekh Basyar menyembunyikan diri
dari kekuasaan Sultan.
Tetapi setelah
Sultan Harun Al-Rasyid meninggal dunia, kemudian diganti dengan puteranya
Al-Amin barulah Syekh Basyar keluar dari persembunyiannya. Kembali ia
mengeluarkan pendapatnya itu, bahwa Quran itu adalah makhluk. Al-Amin juga
sependirian dengan ayahnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Ia mengancam
berat terhadap orang yang mengatakan Quran itu makhluk.
Kemudian kepala
negara pindah lagi ke tangan saudara Al-Amin yaitu Al-Makmun. Di zaman
pemerintahan Al-Makmun inilah pendapat tentang Quran itu makhluk mula diterima.
Al-Makmun sendiri telah terpengaruh dan ikut berpendapat demikian. Pada suatu
kali oleh Al-Makmun diadakan pertemuan para ulama besar, untuk membincangkan
hal itu, tetapi para ulama tetap berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah makhluk.
Al-Makmun mengharapkan supaya pendapat itu diterima orang ramai.
Pada masa itu
satu-satunya ulama yang keras berpendirian bahwa “Al-Quran itu bukan makhluk?”
Hanyalah Imam Hambali. Secara terus terang ia berkata di hadapan Sultan:“Bahwa
Al-Quran bukanlah makhluk yang dijadikan Allah, tetapi ia adalah Kalamullah.”
Imam Hambali
satu-satunya ulama ketika itu yang berani membantah, sedangkan yang lainnya
diam seribu bahasa. Kemudian ia ditangkap dan dihadapkan ke hadapan baginda. Ia
dipanggil bersama tiga orang ulama yang lainnya, yaitu Imam Hassan bin Muhammad
Sajah, Imam Muhammad bin Nuh dan Imam Ubaidah bin Umar. Kedua ulama di antara
mereka sama menjawab dan membenarkan pendapat baginda sementara Imam Hambali
dan Imam Muhammad bin Nuh dengan tegas menjawab bahwa Quran itu bukanlah
makhluk. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam penjara. Setelah beberapa hari dalam
penjara datang surat dari Tharsus yang meminta supaya keduanya dibawa ke sana
dengan dirantai.
Kedua ulama
tersebut betul-betul dirantai kedua kaki dan tangannya dan ditunjukkan di
hadapan orang ramai. Kemudian dibawa ke Tharsus, sesampainya di sana keduanya
dimasukkan ke dalam penjara. Kerajaan mempunyai seorang ulama besar bernama
Ahmad bin Abi Daud, yang pandai berbicara namun lemah dalam pendirian.
Terhadap Imam
Hambali mereka minta supaya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya.
Baginda raja menerima usulan tersebut. Lalu Imam Hambali dihadapkan depan raja
dan ditanyakan tentang pendiriannya. Namun ia tetap menyampaikan pendiriannya
bahwa Al-Quran itu ialah Kalamullah bukan makhluk. Dan ia menegaskan lagi bahwa
ia tidak akan berubah dari pendiriannya itu.
Akhirnya
terjadilah persidangan yang dipimpin oleh baginda sendiri. Kemudian baginda
memanggil Imam Hambali dan berkata: “Atas nama saya sebagai kerabat Nabi
Muhammad SAW saya akan memukul engkau beberapa kali, sampai engkau membenarkan
apa yang telah saya benarkan, atau mengatakan seperti yang saya kata?” Karena
Imam Hambali masih tetap dengan pendiriannya, maka baginda memerintahkan kepada
perajuritnya untuk memukul Imam Hambali.
Ketika cambuk
yang pertama singgah di punggung beliau, beliau mengucapkan “Bismillah.” Ketika
cambuk yang kedua, beliau mengucapkan “La haula walaa quwwata illaa billah”
(tiada daya dan kekuatan apa pun kecuali izin Allah). Ketika cambuk yang ketiga
kalinya beliau mengucapkan “Al-Quran kalaamullahi ghairu makhluk” (Al-Quran
adalah kalam Allah bukan makhluk). Dan ketika pada pukulan yang keempat, beliau
membaca surah At-Taubah ayat 51.
“Katakanlah:
Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang ditetapkan oleh Allah
bagi kami.”
Sehingga
seluruh badan beliau mengalir darah merah.
Akhirnya beliau
dimasukkan ke dalam penjara kembali. Pada suatu hari ketika Imam Hambali dibawa
ke Kota Anbar dengan tangan yang terbelenggu, seorang yang alim bernama Abu
Ja’far Al-Anbari menghampiri beliau. Imam Hambali bertanya kepadanya: “Hai Abu
Ja’far apakah engkau susah melihat keadaanku?” “Tidak wahai Imam, engkau adalah
pemuka umat, karena umat manusia ada di belakangmu. Demi Allah, bila engkau mau
menjawab bahwa Quran itu makhluk, pastilah umat akan mengikutimu, dan bila
engkau tidak mau menjawab, maka umat juga tidak mau menjawab seperti apa yang
ingin engkau jawab. Bila engkau tidak mati dibunuh orang, pasti engkau juga
akan mati dengan cara yang lain. Maka janganlah engkau mau menuruti kehendak
mereka.”
Mendengar kata-kata Ja’far itu beliau
mencucurkan air mata dan berkata: “Masya-Allah!, Masya-Allah!, Masya-Allah!.
Kemudian beliau pun dikunjungi oleh bekas penjahat bernama Abdul Haitsam
Al-Ayyar dan berkata kepada beliau: “Wahai Imam, saya ini seorang pencuri yang
didera dengan beribu-ribu cambukan, namun saya tidak mau mengakui perbuatan
saya, pada hal saya menyedari bahwa saya salah. Maka janganlah Imam gelisah
dalam menerima dera, sebab engkau dalam kebenaran.”
Ketika Khalifah
Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 218H (833 M) setelah memerintah 20 tahun
lamanya, yang mengganti beliau ialah saudaranya yang bernama Ishaq Muhammad bin
Harun Al-Rasyid yang bergelar dengan Al-Muktashimbillah. Sebelum Khalifah
Al-Makmun meninggal dunia beliau telah berpesan kepada bakal penggantinya itu
bahwa faham Al-Quran itu makhluk harus dipertahankan.”
Kebijaksanaan
kerajaan yang menyeksa para ulama yang tidak sependirian dengan faham kerajaan
itu atas dasar hasutan seorang ulama kerajaan yang bernama Qadhi Qudhoti Ahmad
bin Abi Daud (Daud). Ulama inilah yang memberikan usulan kepada Al-makmun bahwa
jika Imam Ahmad bin Hambal tetap tidak mau mengikuti bahwa Al-Quran itu makhluk
hendaklah dihukum dengan hukuman yang berat.
Setelah
kerajaan dipegang oleh Al-Muktasim ulama Ahmad bin Daud masih tetap menjadi
qadi kerajaan. Pada suatu hari Qadi kerajaan ini cuba mengadili Imam Hambali
dengan melakukan perdebatan akhirnya Ahmad bin Daud kalah karena tidak dapat
mengemukakan alasan yang lebih kuat. Walaupun demikian Imam Hambali tetap
dimasukkan kembali ke dalam penjara.
Pada bulan
Ramadhan pengadilan terhadap Imam Hambali diadakan lagi. Khalifah Al-Muktashim
bertanya: “Al-Quran itu adalah baru, bagaimana pendapat anda.” “Tidak!,
Al-Quran adalah kalam Allah, saya tidak sejauh itu membahasnya karena di dalam
Al-Quran dan Hadist tidak disuruh membahas soal tersebut.” Jawab beliau.
Beliau dicambuk
sampai berdarah, pada hal ketika itu bulan puasa. Baginda berkata: “Kalau kamu
merasa sakit dengan pukulan ini, maka ikutilah saya, dan akuilah bahwa Al-Quran
itu makhluk, supaya kamu selamat.”
Penderaan pun
terus berlangsung, sehingga beliau terasa bahwa tali seluar yang menutup
auratnya putus dan hampir turun ke bawah. Beliau pun mengangkatkan mukanya ke
atas sambil berdoa: “Ya Allah!, atas namaMu yang menguasai Arsy, bahwa jika
Engkau mengetahui bahwa saya adalah benar, maka janganlah Engkau jatuhkan penutup
aurat ku.” Ketika itu pula seluar beliau yang akan jatuh itu naik ke atas
kembali sehingga aurat beliau tidak jadi terlihat oleh orang ramai.
Penyeksaan
terhadap beliau itu baru berakhir setelah selesai maghrib. Para hakim dan
orang- orang hadir kemudian berbuka puasa di hadapan beliau. Sementara beliau
dibiarkan saja tidak diberi sesuatu makanan untuk berbuka. Demikianlah
seterusnya, pada hari yang kedua pun beliau masih tetap didera sampai seluruh
badannya mencucurkan darah. Pada hari ketiga beliau masih tetap didera sehingga
pengsan.
Setelah
Al-Muktashim meninggal dunia ia diganti dengan puteranya Al-Watsiq. Pada masa
ini banyak penganiayaan dilakukan terhadap para ulama. Khalifah Al-Watsiq
inilah yang memancung leher ulama terkenal yakni Ahmad bin Naser Al-Khuza’i.
Kepala Ahmad bin Naser digantung dan diletak tulisan yang berbunyi: “Inilah
kepala Ahmad bin Naser yang tidak mau mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk, maka
Tuhan memasukkan Ahmad bin Naser ke dalam neraka, kepala ini menjadi peringatan
bagi mereka yang memalingkan dirinya dari kiblat.” Demikianlah tulisan yang
diletakkan dekat leher Ahmad bin Naser.
Kemudian
Khalifah Al-Watsiq meninggal dunia dan digantikan dengan saudara beliau yang
bernama, Al-Mutawakkil. Pada masa inilah dicabut tentang faham muktazilah dan
diadakan pembebasan terhadap semua ulama yang ditahan, termasuk Imam Ahmad bin
hambal. Sementara itu Imam Hambali setelah dibebaskan beliau diberi hadiah
sebanyak l0,000 dirham, namun hadiah tersebut beliau tolak. Karena dipaksa
untuk menerimanya, akhirnya beliau terima dan dibahagi-bahagikan kepada fakir
miskin.
Pada hari
Jumaat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M beliau meninggal dunia yang
fana ini dengan tenang dalam usia 77 tahun. Setelah mendengar wafatnya beliau,
seluruh Kota Baghdad menjadi gempar jenazah beliau disembahyangkan lebih dari
130,000 orang muslimin. Demikian berakhirnya riwayat seorang penegak kebenaran
dan meninggikan ilmu pengetahuan, setelah melalui berbagai seksaan dan
penganiayaan. Semoga mereka yang berjuang pada jalan Allah menjadi kekasih
Allah, yang selalu mendapat keberkahannya dan keridhoanNya.
Banyak lagi
mereka yang berjuang pada jalan Allah akhirnya menerima ujian dan cubaan dengan
berbagai penganiayaan dan seksaan.
Firman Allah
artinya:
“Apakah manusia
itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan. “Kami telah beriman, sedang
mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang- orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Imam Abu
Hanafih adalah seorang imam Mazhab yang besar dalam dunia Islam. Dalam empat
mazhab yang terkenal tersebut hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab.
Beliau
keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa Ajam. Pendirian beliau sama
dengan pendirian imam yang lain, yaitu sama-sama menegakkan Al-Quran dan sunnah
Nabi SAW.
Imam Hanafi
dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota
bernama Kufah. Nama yang sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin
Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi.
Kemasyhuran
nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
1. Karena ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan
dengan Abu Hanifah.
2. Karena
semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang
dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada
agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut
bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis
Hadist-Hadist, ke mana, ia pergi selalu membawa tinta. Karena itu ia dinamakan
Abu Hanifah.
Waktu ia
dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari
keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi,
beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga
ilmu Hadist. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan
hikmah.
Imam Hanafi
adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih
banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata
demi mengharapkan keridhoan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang
berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.
Sifat
keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk
kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan
keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan
mungkar, karena menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan
orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan
semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut
Sebahagian
dilukiskan dalam sebuah Hadist Rasulullah SAW bahwa bumi ini diumpamakan sebuah
bahtera yang didiami oleh dua kumpulan. Kumpulan pertama adalah terdiri
orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang
jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini mau merosak bahtera dan kumpulan baik itu
tidak mau mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi
sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mau mencegah perbuatan orang-orang yang
mau membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat.
Sifat Imam
Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah
kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat
dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam
penjara ia diseksa, dipukul dan sebagainya.
Gubenur di Iraq
pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin
ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah
kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua
urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya.
Ia tidak mau menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gubernur
Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.
Pada waktu yang
lain Gubernur Yazid menawarkan pangkat Kadi (hakim) tetapi juga ditolaknya.
Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam
Hanafi memusuhi pemerintah, karena itu timbul rasa curiganya. Oleh karena itu
ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi
mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku
tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan
dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan
pendirian hidupnya.
Pada suatu hari
Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan
di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi
Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka,
masing-masing diberi kedudukan rasmi oleh Gubernur.
Ketika itu
gubernur menetapkan Imam Hanafi menjadi Pengetua jawatan Sekretari gubernur.
Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk wang negara. Gubernur
dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak
menerima pangkat itu nescaya ia akan dihukum dengan pukulan.”
Walaupun ada
ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jawatan itu, bahkan ia tetap
tegas, bahwa ia tidak mau menjadi pegawai kerajaan dan tidak mau campur tangan
dalam urusan negara.
Karena sikapnya
itu, akhirnya ditangkap oleh gubernur. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara
selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul
sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah
itu gubernur menawarkan menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi
dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak
sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya.
Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan.
Akibat dari
pukulan itu muka dan seluruh badannya menjadi bengkak-bengkak. Hukuman cambuk
itu sengaja untuk menghina Imam Hanafi. Walaupun demikian ketika Imam Hanafi
diseksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman
neraka di akhirat nanti.” Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara
ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima
ujian. Kemudian pada tahun 132 H sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah
pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua
negaranya bernama Abu Abbas as Saffah.
Pada tahun 132
H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan ketua negara yang baru
bernama Abi Jaafar Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Ketika
itu Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai
ulama besar yang disegani. Ahli fikir yang cepat dapat menyelesaikan sesuatu
persoalan.
Suatu hari Imam
Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang
mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda
menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang
pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?”
Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya
daripada saya membayar sumpah saya.”
Karena ia masih
tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian
dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka
di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila.
Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan
untuk kota Kufah. Karena sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang
memberi fatwa.
Pada suatu hari
Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara karena mendapat panggilan dari Al-Mansur,
tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam
keadaan seperti ini?”
Dijawab oleh
Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin.
Wahai Amirul
Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan
orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh
dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah,
sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu.”
Baginda berkata
lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu.” Dijawab oleh
Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika
saya benar, saya telah menyatakan bahwa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika
saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang
dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang
golongan hakim seperti saya.”
Pernah juga
terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke
istananya, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an
Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk
menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi
surat pelantikan tersebut.
Imam Sufyan ats
Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi
di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mau menerima pengangkatan itu di manapun
ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahwa siapa saja yang
tidak mau menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan.
Imam Syarik
menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mau menerimanya, kemudian ia
melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mau menerimanya dan tidak
pula berusaha melarikan diri.
Oleh sebab itu
Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman
sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher
beliau dikalung dengan rantai besi yang berat.
Suatu kali Imam
Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu
diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum
air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam
Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.
Imam Hanafi
menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan
Abbasiyah adalah karena beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang
mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk
bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka seksa hingga
meninggal, karena Imam Hanafi menolak semua tawaran yang mereka berikan.
Imam Syafie
bernama Muhammad bin Idris. Salasilah keturunan beliau adalah Muhammad bin
Idris bin Abbas bin Usman bin Syafie bin Saib bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Abdul
Mutalib bin Abdul Manaf.
Keturunan
beliau bertemu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada datuk Nabi Muhammad yang
ketiga yaitu Abdul Manaf.
Beliau
dilahirkan di Ghuzah nama sebuah kampung yang termasuk daerah Palestin, pada
bulan Rejab 150 H atau 767 Masehi. Tempat asal ayah dan bonda beliau ialah di
Kota Makkah. Imam Syafie lahir di Palestin karena ketika itu bondanya pergi ke
daerah itu demi keperluan penting. Namun di dalam perjalanan menuju Palestin
tersebut ayahnya meninggal dunia, sementara Imam Syafie masih dalam kandungan
ibunya. Setelah berumur dua tahun baru Imam Syafie dan ibunya kembali ke Kota
Makkah.
Ketika berumur
9 tahun beliau telah hafal Al-Quran 30 juz. Umur 19 tahun telah mengerti isi
kitab Al-Muwatha’, karangan Imam Malik, tidak lama kemudian Al-Muwatha’ telah
dihafalnya. Kitab Al-Muwatha’ tersebut berisi Hadist-Hadist Rasulullah SAW,
yang dihimpun oleh Imam Malik.
Karena
kecerdasannya pada umur 15 tahun beliau telah diizinkan memberi fatwa di
hadapan masyarakat dan menjawat sebagai guru besar ilmu Hadist serta menjadi
mufti dalam Masjidil Haram di Makkah.
Ketika berumur
20 tahun beliau pergi belajar ke tempat Imam Malik di Madinah, setelah itu
beliau ke Irak, Parsi dan akhirnya kembali ke Madinah. Dalam usia 29 tahun
beliau pergi ke Yaman untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Tentang
ketaatan beliau dalam beribadah kepada Allah diceritakan bahwa setiap malam
beliau membagi malam itu kepada tiga bahagian. Sepertiga malam beliau gunakan
kewajipan sebagai manusia yang mempunyai keluarga, sepertiga malam untuk solat
dan zikir dan sepertiga lagi untuk tidur.
Ketika Imam
Syafie di Yaman, beliau diangkat menjadi setiausaha dan penulis istimewa
Gubernur di Yaman, sekaligus menjadi guru besar di sana. Karena beliau termasuk
orang pendatang, secara tiba-tiba memangku jawatan yang tinggi, maka ramai
orang yang memfitnah beliau.
Ahli sejarah
telah menceritakan bahwa waktu sultan Harun Ar-Rasyid sedang marah terhadap
kaum Syiah, sebab golongan tersebut berusaha untuk meruntuhkan kekuasaan
Abbasiyah, mereka berhasrat mendirikan sebuah kerajaan Alawiyah yaitu keturunan
Saidina Ali bin Abi Talib. Karena itu di mana kaum Syiah berada mereka diburu
dan dibunuh.
Suatu kali
datang surat baginda Sultan dari Baghdad. Dalam surat yang ditujukan kepada
Wali negeri itu diberitahukan supaya semua kaum Syiah ditangkap. Untuk pertama
kali yang paling penting adalah para pemimpinnya, jika pekerjaan penangkapan
telah selesai semua mereka akan dikirimkan ke Baghdad. Semuanya harus
dibelenggu dan dirantai. Imam Syafie juga ditangkap, sebab di dalam surat
tersebut bahwa Imam Syafie termasuk dalam senarai para pemimpin Syiah.
Ketika
peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan, Imam Syafie dibawa ke Baghdad dengan
dirantai kedua belah tangannya. Dalam keadaan dibelenggu itu para tahanan
disuruh berjalan kaki mulai dari Arab Selatan (Yaman) sampai ke Arab Utara
(Baghdad), yang menempuh perjalanan selama dua bulan. Sampai di Baghdad belenggu
belum dibuka, yang menyebabkan darah-darah hitam melekat pada rantai-rantai
yang mengikat tangan mereka.
Pada suatu
malam pengadilan pun dimulai. Para tahanan satu persatu masuk ke dalam bilik
pemeriksaan. Setelah mereka ditanya dengan beberapa kalimat, mereka dibunuh
dengan memenggal leher tahanan tersebut. Supaya darah yang keluar dari leher
yang dipotong itu tidak berserak ia dialas dengan kulit binatang yang diberi
nama dengan natha’.
Imam Syafie
dalam keadaan tenang menunggu giliran, dengan memohon keadilan kepada Allah
SWT. Kemudian beliau dipanggil ke hadapan baginda Sultan. Imam Syafie
menyerahkan segalanya hanya kepada Allah SWT. Dengan keadaan merangkak karena
kedua belah kaki beliau diikat dengan rantai, Imam Syafie mengadap Sultan. Semua
para pembesar memperhatikan beliau.
“Assalamualaika,
ya Amirul Mukminin wabarakatuh.”
Demikian ucapan
salam beliau kepada baginda dengan tidak disempurnakan yaitu “Warahmatullah.”
“Wa
alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.” Jawab baginda. Kemudian baginda
bertanya: “Mengapa engkau mengucap salam dengan ucapan yang tidak diperintahkan
oleh sunnah, dan mengapa engkau berani berkata-kata dalam majlis ini sebelum
mendapat izin dari saya?”
Imam Syafie
menjawab: “Tidak saya ucapkan kata “Warahmatullah” karena rahmat Allah itu
terletak dalam hati baginda sendiri.” Mendengar kata-kata itu hati baginda jadi
lembut. Kemudian Imam Syafie membaca surah An-Nur ayat 55 yang bermaksud:
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang soleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhoiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.”
Setelah membaca
ayat di atas kemudian Imam Syafie berkata: “Demikianlah Allah telah menepati
janjiNya, karena sekarang baginda telah menjadi khalifah, jawapan salam baginda
tadi membuat hati saya menjadi aman.” Hati baginda menjadi bertambah lembut.
Baginda Harun ar Rashid bertanya kembali: “Kenapa engkau menyebarkan faham
Syiah, dan apa alasanmu untuk menolak tuduhan atas dirimu.”
“Saya tidak
dapat menjawab pertanyaan baginda dengan baik bila saya masih dirantai begini,
jika belenggu ini dibuka Insya-Allah saya akan menjawab dengan sempurna. Lalu
baginda memerintahkan kepada pengawal untuk membukakan belenggu yang mengikat
lmam Syafie itu.
Setelah rantai
yang membelenggu kedua kaki dan tangannya itu dibuka, maka Imam Syafie duduk
dengan baik kemudian membaca surah Hujarat ayat 6:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq yang membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”
“Ya Amirul
Mukminin, sesungguhnya berita yang sampai kepada baginda itu adalah dusta
belaka. Sesungguhnya saya ini menjaga kehormatan Islam. Dan bagindalah yang
berhak memegang adab kitab Allah karena baginda adalah putera bapak saudara
Rasulullah SAW yaitu Abbas. Kita sama-sama menghormati keluarga Rasulullah.
Maka kalau saya dituduh Syiah karena saya sayang dan cinta kepada Rasulullah
dan keluarganya, maka demi Allah, biarlah umat Islam sedunia ini menyaksikan
bahwa saya adalah Syiah. Dan tuan-tuan sendiri tentunya sayang dan cinta kepada
keluarga Rasulullah.” Demikian jawab Imam Syafie.
Baginda Harun
ar Rasyid pun menekurkan kepalanya kemudian ia berkata kepada Imam Syafie:
“Mulai hari ini bergembiralah engkau agar lenyaplah perselisihan antara kami
dengan kamu, karena kami harus memelihara dan menghormati pengetahuanmu wahai
Imam Syafie.”
Demikianlah kehidupan Imam Syafie sebagai
ulama besar, yang tidak lepas dari berbagai cubaan serta seksaan dari pihak
yang tak mengerti akan hakikat kebenaran yang sesungguhnya. Hanya ketabahan dan
keimanan serta pengetahuanlah yang dapat menghadapi setiap cubaan itu sebagai
suatu ujian dari Allah SWT yang harus kita hadapi.