MENURUT AHLI SEJARAH
NON-MUSLIM
(dikutip dari SEJARAH HIDUP
MUHAMMAD oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL)
PENDAPAT MUIR
Sebenarnya apa yang diterangkan
kaum Orientalis dalam
hal ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh Sir
William Muir dalam The Life of
Mohammad supaya mereka yang
sangat berlebih-lebihan dalam
memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya
menerima begitu saja apa
yang dikatakan orang
tentang pemalsuan dan perubahan Qur'an itu, dapat melihat
sendiri. Muir adalah seorang penganut Kristen yang teguh dan yang juga
berdakwah untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap kesempatan melakukan
kritik terhadap Nabi dan Qur'an,
dan berusaha memperkuat kritiknya.
etika bicara tentang Qur'an
dan akurasinya yang
sampai kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:
"Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca
beberapa ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang
bersifat umum atau
khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti
agama adalah perbuatan baik yang
akan mendapat pahala
bagi yang melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan
konsensus. Dan itu pula yang
telah diberitakan oleh
wahyu. Oleh karena itu yang hafal
Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu
banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka pada
awal masa kekuasaan Islam itu ada
yang dapat membaca sampai pada
ciri-cirinya yang khas.
Tradisi Arab telah membantu pula
mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan
mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala
yang datang dari para
penyairnya tidak mudah
dicapai, maka seperti dalam
mencatat segala sesuatu
yang berhubungan dengan nasab
keturunan dan kabilah-kabilah mereka,
sudah biasa pula mereka
mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh
karena itu daya
ingat (memori) mereka tumbuh
dengan subur. Kemudian pada masa
itu mereka menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.
Begitu kuatnya daya
ingat sahabat-sahabat Nabi,
disertai pula dengan kemauan yang
luar biasa hendak
nnenghafal Qur'an, sehingga mereka,
bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan
ketelitian yang meyakinkan sekali segala
yang diketahui dari
pada Nabi sampai pada waktu mereka membacanya
itu."
"Sungguhpun dengan tenaga
yang sudah menjadi ciri khas daya
ingatnya itu, kita
juga bebas untuk
tidak melepaskan kepercayaan
kita bahwa kumpulan
itu adalah satu-satunya sumber. Tetapi ada alasan kita
yang akan membuat kita yakin, bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis
beberapa macam naskah selama
masa hidupnya dari
berbagai macam bagian
dalam Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an
itu ditulis. Pada
umumnya tulis-menulis di
Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan
Muhammad. Tidak hanya seorang
saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat
itu. Tawanan perang Badr
yang dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh
sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya
seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan
surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat
mengajarkan tulis-menulis
kepada kaum Anshar
di Medinah, sebagai imbalannya mereka
dibebaskan. Meskipun penduduk
Medinah dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak
juga di
antara mereka yang
pandai tulis-menulis sejak sebelum
Islam. Dengan adanya kepandaian
menulis ini, mudah saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat yang dihafal
menurut ingatan yang sangat teliti itu, itu juga yang
dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."
"Kemudian kitapun
mengetahui, bahwa Muhammad telah
mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah
menganut Islam, supaya mengajarkan
Qur'an dan mendalami agama. Sering
pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan yang pergi
membawa perintah tertulis
mengenai masalah-masalah
agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa yang diturunkan
oleh wahyu, khususnya
yang berhubungan dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam serta apa yang
harus dibaca selama melakukan ibadat."
PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN
NABI
"Qur'an sendiripun
menentukan adanya itu
dalam bentuk tulisan. Begitu
juga buku-buku sejarah
sudah menentukan demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya
Umar, tentang adanya sebuah
naskah Surat ke-20
[Surah Taha] milik saudaranya yang perempuan dan
keluarganya. Umar masuk Islam tiga atau
empat tahun sebelum
Hijrah. Kalau pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis
dan saling dipertukarkan, tatkala jumlah
kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami pelbagai macam
siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali,
bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah
banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai
puncak kekuasaannya dan kitab
itu sudah menjadi
undang-undang seluruh bangsa Arab."
BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA
NABI
"Demikian halnya Qur'an itu
semasa hidup Nabi, dan demikian juga halnya
kemudian sesudah Nabi wafat; tetap tercantum dalam kalbu kaum mukmin.
Berbagai macam bagiannya
sudah tercatat belaka dalam
naskah-naskah yang makin hari makin bertambah jumlahnya itu. Kedua
sumber itu sudah seharusnya benar-benar cocok.
Pada waktu itu pun Qur'an sudah
sangat dilindungi sekali, meskipun
pada masa Nabi
masih hidup, dengan keyakinan
yang luarbiasa bahwa
itu adalah kalam Allah. Oleh
karena itu setiap
ada perselisihan mengenai isinya, untuk
menghindarkan adanya perselisihan demikian itu, selalu dibawa
kepada Nabi sendiri. Dalam hal ini
ada beberapa contoh pada
kita: 'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin
Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi
wafat, bila ada perselisihan,
selalu kembali kepada
teks yang sudah tertulis dan kepada
ingatan sahabat-sahabat Nabi
yang terdekat serta penulis-penulis wahyu."
PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH
PERTAMA
"Sesudah selesai
menghadapi peristiwa Musailima
- dalam perang Ridda - penyembelihan Yamama telah menyebabkan
kaum Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka yang
telah menghafal Qur'an dengan baik. Ketika
itu Umar merasa kuatir
akan nasib Qur'an dan teksnya itu; mungkin nanti akan
menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka
yang telah menyimpannya dalam
ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal semua. Waktu itulah ia
pergi menemui Khalifah Abu Bakr dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali
pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal
Qur'an itu akan
terjadi lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak
lagi dari mereka yang akan
hilang. Menurut hemat
saya, cepat-cepatlah kita bertindak
dengan memerintahkan pengumpulan
Qur'an."
"Abu Bakr segera menyetujui
pendapat itu. Dengan
maksud tersebut ia berkata
kepada Zaid bin Thabit, salah seorang Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau
pemuda yang cerdas dan saya
tidak meragukan kau. Engkau
adalah penulis wahyu pada Rasulullah
s.a.w. dan kau
mengikuti Qur'an itu;
maka sekarang kumpulkanlah.''
"Oleh karena
pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar dugaan, mula-mula Zaid
gelisah sekali. Ia masih
meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain
melakukannya. Akan tetapi akhirnya
ia mengalah juga
pada kehendak Abu Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai
berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah
dan bagian-bagiannya dari segenap
penjuru, sampai dapat juga ia mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di
atas batu putih, dan
yang dihafal orang.
Setengahnya ada yang menambahkan, bahwa dia juga
mengumpulkannya dari yang
ada pada lembaran-lembaran, tulang-tulang
bahu dan rusuk unta dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."
"Ia melakukan itu selama dua
atau tiga tahun terus-menerus,
mengumpulkan semua bahan-bahan
serta menyusun kembali seperti yang ada sekarang ini, atau
seperti yang dilakukan Zaid sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad,
demikian orang mengatakan. Sesudah
naskah pertama lengkap
adanya, oleh Umar itu
dipercayakan penyimpanannya
kepada Hafsha, puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang sudah
dihimpun oleh Zaid ini
tetap berlaku selama khilafat
Umar, sebagai teks yang otentik dan sah.
"Tetapi kemudian terjadi
perselisihan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah
Zaid yang tadi atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam
naskah-naskah itu yang disalin
dari naskah Zaid.
Dunia Islam cemas sekali melihat hal ini. Wahyu yang
didatangkan dari langit
itu "satu," lalu dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang
pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan,
juga melihat adanya perbedaan
Qur'an orang Suria dengan orang Irak."
MUSHAF USMAN
"Karena banyaknya
dan jauhnya perbedaan
itu, ia merasa gelisah sekali. Ketika
itu ia lalu meminta agar Usman turun
tangan. "Supaya jangan
ada lagi orang berselisih tentang
kitab mereka sendiri
seperti orang-orang Yahudi
dan Nasrani."
Khalifahpun dapat menerima
saran itu. Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid
bin Thabit dimintai bantuannya dengan
diperkuat oleh tiga orang dari
Quraisy. Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha lalu
dibawa, dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh
persekemakmuran Islam itupun dikemukakan, lalu
semuanya diperiksa kembali dengan pengamatan
yang luarbiasa, untuk
kali terakhir. Kalaupun Zaid
berselisih juga dengan ketiga sahabatnya
dari Quraisy itu, ia
lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut
logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu
itu diturunkan dengan
tujuh dialek Arab
yang bermacam-macam."
"Selesai dihimpun,
naskah-naskah menurut Qur'an
ini lalu dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang
selebihnya naskah-naskah itu dikumpulkan lagi
atas perintah Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang
pertama dikembalikan kepada Hafsha."
PERSATUAN ISLAM ZAMAN USMAN
"Maka yang sampai kepada
kita adalah Mushhaf Usman. Begitu cermat
pemeliharaan atas Qur'an itu,
sehingga hampir tidak kita dapati -bahkan
memang tidak kita
dapati- perbedaan apapun dari
naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh penjuru
dunia Islam yang
luas itu. Sekalipun akibat
terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat -
telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat
menggoncangkan kesatuan dunia Islam -
dan memang demikian adanya - namun Qur'an yang satu, itu juga yang
selalu tetap menjadi Qur'an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti
yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak
lain adalah teks yang
telah dihimpun atas perintah Usman yang malang itu.
"Agaknya di seluruh dunia
ini tak ada sebuah kitabpun selain Qur'an
yang sampai empatbelas abad
lamanya tetap lengkap dengan teks
yang begitu murni dan cermatnya.
Adanya cara membaca yang
berbeda-beda itu sedikit sekali
untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada
cara mengucapkan huruf
hidup saja atau pada
tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya
timbul hanya belakangan saja
dalam sejarah, yang
tak ada hubungannya dengan Mushhaf Usman."
"Sekarang, sesudah
ternyata bahwa Qur'an
yang kita baca ialah
teks Mushhaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah
kita bahas lagi:
Adakah teks ini
yang memang persis bentuknya seperti
yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan
menghilangkan segi perbedaan dalam cara
membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula
penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa memang
demikian. Tidak ada dalam
berita-berita lama atau yang patut
dipercaya yang melemparkan
kesangsian terhadap Usman sedikitpun,
bahwa dia bermaksud mengubah Qur'an guna memperkuat
tujuannya. Memang benar, bahwa Syi'ah kemudian
menuduh bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang
mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima akal. Ketika
Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan pihak Alawi (golongan
Mu'awiya dan golongan
Ali) belum terjadi sesuatu
perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu
benar-benar kuat tanpa
ada bahaya yang mengancamnya. Di
samping itu juga
Ali belum melukiskan tuntutannya
dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak
adalah maksud-maksud
tertentu yang akan
membuat Usman sampai melakukan pelanggaran yang akan sangat
dibenci oleh kaum Muslimin
itu. Orang-orang yang
memahami dan hafal benar
Qur'an seperti yang
mereka dengar sendiri
waktu Nabi membacanya mereka
masih hidup tatkala Usman mengumpulkan Mushhaf itu.
Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan
Ali itu sudah ada,
tentu terdapat juga
teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu.
Dua alasan ini
saja sudah cukup untuk menghapus
setiap usaha guna menghilangkan ayat-ayat
itu. Lagi pula,
pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka
mengangkat Ali sebagai Pengganti."
"Dapatkah diterima akal -
pada waktu kemudian mereka sudah memegang kekuasaan - bahwa mereka akan
sudi menerima Qur 'an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong
yang disengaja pula untuk
menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu mereka tetap membaca
Qur'an yang juga
dibaca oleh lawan-lawan mereka.
Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali
sendiripun telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya.
Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya dengan
tangannya sendiri."
"Memang benar
bahwa para pemberontak
itu telah membuat pangkal
pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan Qur'an lalu
memerintahkan supaya semua naskah
dimusnahkan selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada
langkah-langkah Usman dalam
hal itu saja,
yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik
itu tidak seorangpun yang
menunjukkan adanya usaha mau mengubah atau menukar isi Qur'an. Tuduhan demikian
pada waktu itu adalah suatu usaha perusakan
terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi'ah saja yang mengatakan itu untuk
kepentingan mereka sendiri."
"Sekarang kita dapat
mengambil kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushhaf Usman itu tetap
dalam bentuknya yang
persis seperti yang dihimpun
oleh Zaid bin Thabit, dengan
lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan
jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di
seluruh daerah itu."
MUSHAF USMAN CERMAT DAN
LENGKAP
"Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal
penting lain yang terpampang di
depan kita, yakni:
adakah yang dikumpulkan oleh
Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap
seperti yang diwahyukan
kepada Muhammad?
Pertimbangan-pertimbangan di bawah
ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah
susunan sebenarnya yang
telah selengkapnya dicapai waktu itu:"
"Pertama -
Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu
Bakr seorang sahabat yang
jujur dan setia kepada Muhammad.
Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Qur'an,
orang yang hubungannya begitu erat
sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun terakhir dalam hayatnya,
serta kelakuannya dalam
khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari
gejala ambisi, sehingga baginya memang tak
adalah tempat buat mencari
kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada
kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga
tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam
keadaan murni sepenuhnya."
Pernyataan semacam ini berlaku
juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan
pengumpulan itu pada
masa khilafatnya. Pernyataan
semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu
itu, tak ada perbedaan antara
para penulis yang membantu
melakukan pengumpulan itu,
dengan seorang mu'min biasa
yang miskin, yang memiliki wahyu
tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya
semua kepada Zaid. Semangat
mereka semua sama,
ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan
kata-kata seperti yang dibacakan oleh
Nabi, bahwa itu adalah risalah
dari Tuhan. Keinginan mereka hendak
memelihara kemurnian itu
sudah menjadi perasaan semua
orang, sebab tak ada sesuatu yang
lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka
seperti rasa kudus yang
agung itu, yang
sudah mereka percayai
sepenuhnya sebagai firman Allah.
Dalam Qur'an terdapat peringatan-peringatan bagi
barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas
Allah atau menyembunyikan sesuatu
dari wahyuNya. Kita tidak
akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula
dengan semangat mereka
terhadap agama yang begitu
rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa
akibat begitu jauh
membelakangi iman."
"Kedua -
Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad
wafat. Kita sudah melihat
beberapa orang pengikutnya, yang
sudah hafal wahyu
itu di luar kepala, dan setiap
Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada
serombongan ahli-ahli Qur'an
yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap
penjuru daerah Islam guna
melaksanakan upacara-upacara dan
mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata
rantai penghubung antara wahyu
yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum
Muslimin bukan saja bermaksud jujur
dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf itu, tapi
juga mempunyai segala
fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud
tersebut, menjamin
terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam
kitab itu, yang ada di tangan
mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan."
"Ketiga - Juga kita
mempunyai jaminan yang
lebih dapat dipercaya tentang
ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Qur'an yang
tertulis, yang sudah
ada sejak masa Muhammad
masih hidup, dan
yang sudah tentu jumlah
naskahnyapun sudah banyak sebelum
pengumpulan Qur'an itu. Naskah-naskah demikian
ini kebanyakan sudah ada di
tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang
dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca
sesudah pengumpulannya. Maka logis
sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam
bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka.
Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada
tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan,
bahwa para penghimpun itu
telah melalaikan sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata,
ataupun apa yang terdapat di dalamnya
itu, berbeda dengan
yang ada dalam Mushhaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian
ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat
juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat
itu; tak ada sesuatu yang diabaikan
sekalipun yang kurang penting."
"Keempat -
Isi dan susunan
Qur'an itu jelas
sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macarn disusun
satu sama lain
secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat."
"Tak ada bekas tangan yang
mencoba mau mengubah
atau mau memperlihatkan keahliannya
sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran sipenghimpun
dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada
mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu
meletakkannya yang satu
di samping yang lain."
"Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan
meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan
hanya hasil ketelitian saja,
bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan - adalah juga lengkap,
dan bahwa penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan
apapun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti
yang kuat, bahwa setiap
ayat dari Qur'an
itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh
Muhammad."
Panjang juga kita mengutip
kalimat-kalimat Sir William Muir
seperti yang disebutkan
dalam kata pengantar The Life of
Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita kutip itu
tidak perlu lagi
rasanya kita menyebutkan
tulisan Lammens atau Von Hammer
dan Orientalis lain
yang sama sependapat. Secara
positif mereka memastikan
tentang persisnya Qur'an yang kita baca sekarang, serta
menegaskan bahwa semua yang
dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang benar dan
sempurna diterima dari
Tuhan. Kalaupun ada sebagian kecil
kaum Orientalis berpendapat
lain dan beranggapan bahwa Qur'an
sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis
yang dikemukakan Muir dan sebagian besar
Orientalis, yang telah
mengutip dari sejarah Islam
dan dari sarjana-sarjana Islam,
maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh
rasa dengki saja terhadap Islam
dan terhadap Nabi.
Betapapun pandainya
tukang-tukang tuduh itu
menyusun tuduhannya, namun mereka
tidak dapat meniadakan
hasil penyelidikan ilmiah yang
murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin,
kecuali beberapa pemuda yang
masih beranggapan bahwa
penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau
mereka sendiri, memalingkan muka
dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah.
Mereka percaya kepada semua yang mengecam
masa lampau sekalipun
pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan
sejarah.
S E J A R A H H I D U P
M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab
oleh Ali Audah
0 comments:
Post a Comment