KARENA
AKU CINTA BAGINDA NABI
Habiburrahman El Shirazy*
Pagi itu Kairo diselimuti kabut tebal. Jalan-jalan masih
lengang. Satu dua orang nampak pulang dari masjid. Semilir angin dingin
berhembus menerobos ke dalam gedung lewat sela-sela jendela dan pintu. Pada
puncak musim dingin seperti ini, shalat shubuh berjamaah di masjid benar-benar
suatu ujian maha berat bagi penduduk kota Kairo. Banyak yang lebih memilih
tetap tidur di atas kasur bermanja dengan kehangatan selimut wool buatan Turki.
Di masjid As
Salam, yang terletak di kawasan Hayyul Asyir, Nasr City, beberapa anak kecil
membaca Al Quran dengan tartil secara bergantian. Mereka duduk melingkari
seorang Syaikh berjenggot putih. Hawa musim dingin yang menusuk tulang tidak
mampu menghalangi semangat mereka.
“Mahmud,
kenapa Hamid tidak hadir?” tanya Syaikh Musthafa pada anak berkopiah putih itu.
Hamid yang ditanyakan itu memang anak paling rajin dan paling banyak hafalan
Qurannya. Tinggal tiga juz lagi, anak berusia sembilan tahun itu akan hafal
tiga puluh juz. Ia sangat disayang oleh Syaikh Musthafa. Wajar jika
ketidakhadirannya ditanyakan beliau.
“Saya tidak
tahu, Syaikh.” Jawab Mahmud lembut penuh hormat.
“Kalau
begitu, usai halaqoh ini, kau ikut aku ke rumah Hamid. Sebab tidak
biasanya ia absen tanpa ijin.” Sahut Syaikh Musthafa.
“Ya, insya
Allah, Syaikh.” Jawab Mahmud.
Satu persatu
anak-anak itu membaca Al Quran secara bergantian. Menjelang waktu syuruq,
halaqoh tadarusan Al Quran itu usai. Syaikh Musthafa dan Mahmud bergegas ke
rumah Hamid.
* * *
Sementara
itu, di kawasan Mutsallats, dalam keremangan kabut tebal nampak anak kecil
bergerak dengan cekatan. Dengan setimba air dan kain lap, ia bergerak mencuci
mobil yang di parkir berjejer di depan apartemen satu persatu. Ia begitu
bersemangat meskipun bias kesedihan tidak bisa ia sembunyikan dari wajahnya.
Seluruh tubuhnya tertutup rapat oleh pakaiannya yang kumal. Hanya muka dan
kedua lengannya yang terbuka. Dinginnya hawa pagi membuat kedua tangannya
terasa kaku. Namun ia terus bergerak mencuci mobil-mobil itu sambil melantunkan
kalam Ilahi…
“Tabaarakalladzi
biyadihil mulku wahuwa `ala kulli syai`in qodiir. Alladzi khalaqol mauta wal
hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu `amala….”
Dengan suara jernih ayat-ayat suci itu keluar dari
mulutnya yang mungil. Sementara kedua tangannya bergerak menyapukan kain lap
yang dibasahai air ke kaca sebuah sedan Accord. Ya itulah kebiasaannya. Ia
selalu mengulang-ulang dua ayat pertama juz Tabarak dalam kerjanya. Ia
merasa mendapatkan tenaga tambahan membaca dua ayat itu. Hatinya selalu
bergetar, secara otomatis syaraf-syarafnya akan menyalurkan kandungan maknanya
ke dalam otak dan ke seluruh pesona tubuhnya…
“Maha Suci
Tuhan yang di tanganNya segala kerajaan, dan Dia Maha Menguasai segala sesuatu.
Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah yang
paling baik amalnya…”
Yah, mulutnya
melantunkan ayat, hatinya bergetar, otak dan syaratnya bereaksi, kedua
tangannya bergerak cekatan. Gerakan kedua tangannya menyapukan serbet basah
pada kaca-kaca mobil. Gemericik air saat ia mencelupkan serbetnya ke dalam
ember. Serta goyangan tubuhnya mengikuti irama kedua tangannya. Semua itu
seumpama tarian kaum sufi yang sedang asyik masyuk dengan Tuhannya.
Gerakan-gerakannya itu adalah tadabbur hidup atas dua ayat suci itu.
Sementara matanya berkaca-kaca. Dalam pelupuk matanya terbayang ayahnya yang
sedang sakit keras. Sementara ibunya, pada waktu yang sama, juga mencuci mobil
di tempat yang berlainan. Kedua adiknya yang masih kecil mungkin sedang
menangis minta susu. Padahal dirinya dan si Izzah, adiknya, juga butuh biaya
untuk membayar SPP sekolah. Ia ingin menangis. Namun, ah, anak lelaki tidak
boleh menangis.
“Aku harus perkasa dan tegar. Baginda Nabi dulu juga
miskin. Beliau juga bekerja keras pada waktu kecil. Beliau mengembalakan
kambing-kambing suku Quraisy. Namun beliau tegar, sabar dan tidak menangis.” Kata Hamid dalam
hati.
Dengan punggung
telapak tangannya ia menyeka air matanya. Lalu kembali bekerja. Angin dingin
menerpa wajahnya yang kaku. Bibirnya biru.
Sejurus
kemudian ia mendengar langkah kaki mendekat. Dari ujung matanya ia menangkap
dua bayangan di kejauhan semakin mendekat. Seorang kakek bersama anak kecil
seusianya. Samar-samar ia mendengar percakapan keduanya.
“Subhanallah,
siapa anak kecil itu? Pagi-pagi sedingin ini sudah bekerja keras.” Kata sang
Kakek.
“Anak yang
tabah. Oh, sebentar Syaikh, aku sepertinya cukup akrab dengan sosok kecil itu,
mari kita mendekat.” Jawab Sang anak yang tak lain adalah Mahmud. Keduanya pun
bergegas mendekat. Semantara Hamid tidak begitu mempedulikan percakapan
keduanya. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana ia bisa secepatnya
menyelesaikan pekerjaannya. Masih ada lima mobil lagi yang harus ia bersihkan.
Dan betapa
terkejutnya Mahmud ketika mengetahui bahwa anak yang sedang mencuci mobil itu
adalah Si Hamid, teman mengajinya yang selama ini ia kenal.
“Subhanallah,
ternyata kamu Hamid ! Syaikh, ini Hamid !” Kata Mahmud dengan penuh keheranan.
Syaikh
Musthafa pun terhenyak kaget melihat Hamid dengan pakaian tebal dan kumal
sedang mencuci mobil. Hamid juga tidak bisa menyembuyikan kekagetannya begitu
tahu Syaikh Musthafa dan Mahmud kini ada di hadapannya.
“A..as..assalamu`alaikum
Syaikh…” sapa Hamid sambil membersihkan tangannya. Lalu pelan-pelan ia maju
menyalami Syaikh Musthafa dan mencium tangan Syaikh Musthafa.
“Wa
`alaikumus salam, Anakku.” Jawab Syaikh Musthafa dengan hati haru.
“Syaikh,
maafkan saya. Saya tidak bisa ikut tadarus pagi ini. Saya tidak sempat untuk
minta ijin. Ayah saya sakit keras. Saya harus membantu ibu menggantikan kerja
ayah. Jika tidak bekerja maka kami sekeluarga tidak bisa makan. Ayah saya
hanyalah seorang bawwab. Sudah tiga hari ayah sakit. Dua hari yang lalu
saya ingin membantu ayah tapi tidak diperbolehkan. Sejak tadi malam ayah tidak
bisa bangkit dari tempat tidurnya. Untuk kerjaan mengepel tangga, mencuci mobil
dan menyirami taman, sayalah yang harus menggantikan. Biasanya saya ikut
membantu ayah tiap hari usai tadarus sebelum berangkat sekolah. Saya ikut
membantu mencuci dua atau tiga mobil saja. Karena kondisi ayah yang seperti
ini, sekarang saya harus mencuci belasan mobil. Jadi saya tidak bisa ikut
tadarus.” Hamid menjelaskan keadaannya, apa adanya. Ia menganggap Syaikh Musthafa sudah seperti
kakeknya sendiri. Syaikh Musthafa mendengar keterangan Hamid dengan meneteskan
air mata.
“Sekarang
masih ada berapa mobil yang harus kau cuci, Anakku?” tanya Syaikh Musthafa.
“Masih ada
delapan, Syaikh.” Jawab Hamid.
“Baiklah, aku
akan membantumu.” Tukas Syaikh.
“Oh jangan
Syaikh, biar saya selesaikan sendiri. Ini tugasku. Aku tidak boleh manja. Aku
harus mampu bekerja dengan kedua tanganku.”
“Aku tahu
prinsipmu, Anakku. Tapi kali ini aku ingin membantumu, biar kamu bisa berangkat
sekolah dan tidak terlambat. Aku juga ingin olah raga.” Sahut Syaikh Musthafa
sambil melepas sorbannya dan melipat lengan jubahnya. Sementara Mahmud
memperhatikan Syaikhnya itu dengan perasaan haru. Syaikh Musthafa memang tokoh
yang ringan tangan dan rendah hati. Beliau benar-benar meneladani Baginda Nabi.
Suatu ketika Baginda Nabi bepergian bersama para sahabatnya. Di tengah
perjalanan mereka kelaparan. Para sahabat pun sama mencari bahan makanan. Ada
yang berburu dan ada yang mencari gandum. Akhirnya bahan makanan itu terkumpul
semua. Tinggal mencari kayu bakar untuk memasaknya. Saat itu yang belum
beranjak adalah baginda Nabi. Maka tanpa malu-malu beliau bergegas mencari kayu
bakar. Para sahabat meminta baginda Nabi diam tenang saja, biar mereka yang
mencari kayu bakar. Tapi beliau menjawab, “Aku juga ingin mendapat bagian
pahala yang sama dengan kalian. Kalian semua sudah bekerja mencari bahan
makanan. Sekarang giliranku mencari kayu bakar.” Para sahabat pun semakin
hormat dan cinta pada baginda Nabi yang ringan tangan dan rendah hati itu.
Begitu juga yang saat itu dirasakan Mahmud, ia semakin cinta dan kagum pada
Syaikh Musthafa.
“Kalau begitu biar aku yang mencari air dan serbet Syaikh.” Sahut
Mahmud. Rupanya Mahmud teringat cerita Baginda Nabi mencari kayu bakar. Jika
Syaikh Musthafa saja mau membantu Hamid mencuci mobil, maka alangkah tidak berbudinya ia jika diam saja
menonton. Mahmud langsung berlari
mencari air dan serbet.
Sejurus
kemudian Syaikh Musthafa dan Mahmud tampak telah ikut membantu Hamid
membersihkan mobil. Usai membersihkan mobil ketiganya lalu bertandang ke rumah
Hamid.
“Ayahmu sudah
di bawa ke dokter, Hamid?” tanya Syaikh.
“ Belum.”
Jawab Hamid lugu.
“Astaghfirullah,
kenapa tidak dibawa ke dokter?”
“Tidak ada
biaya Syaikh. Ayah hanya seorang bawwab. Gajinya hanya cukup untuk makan.
Gaji bulan ini sudah habis untuk berobat dua adikku yang masih kecil.”
“Kalau begitu
ayo cepat sedikit jalannya.” Syeikh Musthafa dan kedua muridnya mempercepat
jalan mereka.
“Oh ya Hamid,
nanti jangan cerita pada ayah atau ibumu kalau aku membantumu ya.” Kata Syaikh
Musthafa. Hamid menjawab dengan mengangukkan kepala.
* * *
“Assalamu`alaikum,
Ayah, ada tamu.” kata Hamid.
“Wa..wa
`alaikumussalam…ukhg..ukhg…” ayah Hamid memaksakan menjawab dengan suara
berat bercampur batuk.
“Ayah ini
Syaikh Musthafa.”
“Oh, ah…ahlan
wa sahlan, syaraftana biziyaratik…” jawab ayah Hamid sambil berusaha
bangkit.
“Jangan
dipaksakan bangkit, istirahat saja, biar aku yang mendekat.” Syaikh Musthafa
lalu mendekat dan duduk di samping ayah Hamid.
“Sudah berapa
hari tidak enak badan, Abu Hamid?”
“Sebetulnya
saya merasakan sudah sejak setengah bulan yang lalu. Saya anggap akan hilang
sendiri. Saya kuatkan untuk tetap bekerja seperti biasa. Tapi sejak tiga hari
yang lalu saya benar-benar tidak berdaya. Seluruh tulang rasanya nyeri dan
sakit. Ditambah pusing dan
batuk yang seperti menggumpal di dada.”
“Sudah
diobati?”
“Saya sudah
minum obat flu. Tapi tidak juga ada perubahan. Padahal biasanya kalau tidak
enak badan langsung sembuh diminumi obat flu.”
“Kebetulan
anak saya dokter di rumah sakit Ains Syams. Nanti biar saya minta dia datang ke
sini memeriksa Abu Hamid. Sekarang saya mau pamit dulu. Sebetulnya saya ingin bincang-bincang agak lama. Cuma
jam tujuh ini saya ada janji, jadi saya harus segera pulang.”
“Terima kasih
Syaikh, maaf jika kami merepotkan.”
Syaikh
Musthafa beranjak meninggalkan rumah Hamid yang hanya berukuran tiga kali empat
meter itu. Hamid sangat terharu mendapat kunjungan dari ulama besar itu.
“Hamid,
Syaikhmu itu baik sekali. Orang besar seperti dia, yang tiap malam Jumat
mengisi pengajian di televisi, masih mau menjenguk kita yang miskin. Ayah
sangat senang sekali. Semoga kamu bisa meniru kemuliaan akhlaknya.” Kata sang
ayah setelah Syaikh pergi. Diam-diam Hamid ingin menangis. Kalau saja ayahnya tahu
Syaikh Musthafa juga ikut membantu dirinya membersihkan mobil. Ingin rasanya ia
memberitahukan hal itu, tapi Syaikh tadi sudah berpesan agar tidak
memberitahukan pada siapa-siapa. Cukup mereka bertiga dan Allah saja yang tahu.
* * *
Hamid dan
ibunya menyaksikan dengan seksama bagaimana Dokter Amin memeriksa ayah. Syaikh
Musthafa selalu menetapi perkataannya. Hanya berselang satu jam setelah beliau
pamitan. Dokter Amin, putra sulung beliau datang ke rumah Hamid dengan membawa
dua kaleng susu, roti, mentega, vitrac dan buah Tin.
“Abu Hamid,
sakit bapak kali ini agak serius. Bukan flu atau reumatik. Bapak terkena gejala
flu tulang dan paru-paru basah. Belum parah. Tapi perlu perawatan intensif.
Sebaiknya Bapak dirawat di rumah sakit, biar cepat sembuh.” Jelas dokter Amin
halus.
“Te…tapi saya
keberatan Dokter.” Jawab Abu Hamid.
“Kenapa?
Bapak ingin cepat sembuh kan?”
“Tentu saya
ingin segera sembuh, tapi terus terang Dokter saya tidak mampu membayar biaya
rumah sakit. Dokter sudah lihat sendiri keadaan kami sekeluarga.”
“Masalah
biaya bisa kita pikir bersama sambil jalan. Yang penting Bapak mau di rawat di
rumah sakit dulu. Saya akan membantu agar bapak mendapatkan keringanan dan akan
saya coba mencarikan bantuan ke Lajnah Zakat Masjid As Salam.” Jelas Dokter
Amin.
“Kalau begitu
saya ikut dokter bagaimana baiknya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Kalaupun sehat saya hanya bisa mencuci mobil, mengepel lantai dan menyirami
taman.”
“Jangan
begitu Pak, semua orang yang mendengar bacaan Quran dan mengenal budi pekerti
Hamid selalu bertanya-tanya siapa orang tuanya yang berhasil mendidik anak yang
shalih ini. Bapak telah melakukan suatu yang besar.”
Pagi itu juga
Abu Hamid dibawa ke rumah sakit oleh dokter Amin. Hanya ibu yang ikut ke rumah
sakit. Hamid harus berangkat sekolah sebab ada ujian. Sementara Izzah adiknya
di rumah menunggui adik kembarnya yang masih balita. Sampai di sekolah pikiran
Hamid masih saja terpatri pada ayahnya. Ada sedikit rasa khawatir menelusup
dalam relung hatinya jika mengingat kemarin malam ayahnya batuk darah. Juga
permintaan dokter Amin agar pagi itu juga dibawa ke rumah sakit. “Ya, Allah
sembuhkanlah ayahku.” Doa Hamid di dalam hati.
* * *
Siang itu,
matahari tampak di tengah petala langit. Meski tidak secerah musim panas, kehadiran
matahari sangat berguna mengurangi hawa dingin kota Kairo. Hamid berjalan
sepanjang jalan raya Az Zahra-Mutsallats. Ia agak tergesa. Hatinya ingin
cepat-cepat sampai rumah. Berjumpa dengan Izzah dan kedua adik kembarnya. Atau
berjumpa ibu jika ibu sudah sampai di rumah dari rumah sakit.
Ia terus
berjalan kaki menyusuri trotoar. Tiba-tiba ia terhenyak. Kedua matanya
menangkap sesuatu. Di pinggir trotoar ia menemukan tas wanita sangat cantik
tergeletak. Tas siapa gerangan? Hati Hamid agak ragu mengambil tas itu. Ambil tidak ya?
Ambil !
Tidak, itu
milik orang!
Ambil saja,
selamatkan tas itu. Jika tidak kau ambil nanti akan diambil orang yang tidak
bertanggung jawab!
Jngan, nanti
kau malah kena masalah !
Ambil dan
serahkan pada yang bertanggung jawab!
Akhirnya Hamid memutuskan untuk mengambil tas itu. Ia
berniat untuk menyerahkan tas yang ditemukannya itu pada polisi. Ia bergegas
menuju pos polisi. Namun di tengah perjalanan ada suara dari nafsunya berbicara
:
“Apa tidak
sebaiknya kau buka tas itu untuk mengetahui isinya. Jangan-jangan isinya barang
yang tidak baik. Jangan-jangan isinya bom.”
“Eh jangan
kau buka. Itu tas milik orang. Langsung serahkan saja pada polisi, biar polisi
yang membuka.”
“Buka dulu.
Kalau isinya obat terlarang kau nanti malah mendapat masalah. Kau bisa kena
hukuman berat.”
“Kau tidak
punya hak membuka tas orang. Serahkan pada polisi dan ceritakan apa adanya
dengan jujur. Orang jujur pasti mujur.”
“Masalahnya
bukan jujurnya. Biar selamat, buka dan ketahui isinya. Orang jujur yang tidak
mujur malah hancur juga ada ! Pokoknya aku sudah memberi tahumu untuk membuka
tas itu. Kalau isinya obat terlarang bisa langsung kau buang. Dan kau akan
selamat.”
Ternyata
Hamid mengikuti kata hatinya yang mengajaknya untuk membuka tas itu.
Perlahan-lahan, di tempat yang sepi Hamid membuka tas itu. Ia sangat terkejut
melihat isi tas itu. Isinya adalah uang sebesar sepuluh ribu pound, permata,
alat-alat kecantikan dan surat-surat berharga. Melihat uang sebesar itu
terjadilah pergolakan hebat dalam hatinya.
“Sebaiknya
aku serahkan uang ini atau tidak pada polisi?” Sebuah pertanyaan muncul dri
sudut hatinya. Lalu terbayanglah ayahnya yang sedang sakit keras. Ibunya yang
harus mencuci mobil tiap pagi di musim dingin. Adiknya yang belum bayar SPP.
Kedua adiknya yang memerlukan susu. Terbayanglah semua penderitaannya yang
disebabkan oleh kemiskinan. Kini, di tangannya ada uang yang banyak, juga
permata. Dengan uang itu ia bisa melakukan banyak hal.
“Ambil saja
uang dan permata itu. Lalu tasnya buang saja ke tempat sampah. Kau bisa
membayar biaya rumah sakit ayahmu dan menolong keluargamu. Kau pun bisa membeli
sepeda untuk sekolah. Toh tidak ada yang melihatmu.”
Tiba-tiba ada
kesadaran yang lain angkat suara
“Kalau pun
tidak ada yang makhluk yang melihat, maka Allah Maha melihat. Kedua tangan dan
matamu bahkan akan menjadi saksi perbuatanmu. Ayah dan ibumu akan sangat marah
atas perbuatan tidak baik itu. Syaikh Musthafa juga akan murka atas
ketidakjujuranmu!”
Hamid lalu
teringat pesan ibunya,
“Aku sangat
bahagia dan bangga jika anak-anakku mencintai dan dicintai baginda Nabi.”
“Bagaimana
caranya mencintai dan dicintai baginda Nabi, Bu?” tanyanya seketika.
“Dengan
mengikuti dan meneladani akhlak dan sifat beliau.”
“Akhlak dan
sifat beliau itu seperti apa Bu.”
“Yang paling
jelas, beliau mendapat gelar “al amin” artinya pribadi yang dapat dipercaya.
Yaitu pribadi yang jujur dan amanah.”
Mengingat itu
ia menitikkan air mata,
“Aku ingin
dicintai ibu. Aku tidak ingin ibu marah. Aku juga ingin mencintai dan dicintai
Rasulullah.”
Perlahan-lahan
ia menutup kembali tas itu lalu membawanya ke kantor polisi. Ia menyerahkan tas
itu pada polisi, setelah menceritakan kejadiannya. Hamid pun pulang dengan hati
lapang. “Ibu, aku berhak mendapatkan cintamu!”
* * *
Alangkah
herannya Hamid melihat keramaian di depan rumahnya. Orang-orang banyak
mengumpul di sana. Dari kejauhan ia melihat bayangan Syaikh Musthafa di sana.
Para tetangga juga banyak yang hadir. Semakin mendekat, samar-samar ia
mendengar tangis Izzah adiknya. Jangan-jangan…!
Ia mempercepat larinya. Begitu sampai di halaman, Syaikh
Musthafa langsung merangkul dan menuntunnya. Ia semakin bingung dan cemas
sekali. Begitu masuk rumah ia mendapati ibunya mengalirkan air mata duduk di
samping ayahnya yang terbaring diam.
“Hamid,
doakan ayahmu semoga mendapatkan rahmat dan dimasukkan ke dalam surga Allah…”
Kata ibunya dengan penuh tabah.
Menghadapi
kenyataan itu, Hamid tidak mampu membendung kesedihannya. Ia menangis
tersedu-sedu.
“Ayaaaah…ayaah…bangun
ayah, bangun ayaah! Hamid akan bantu ayah tiap hari mencuci mobil, mengepel
tangga apartemen, menyiram halaman…” isak Hamid.
Syaikh
Musthafa mendekap Hamid dengan penuh kasih sayang.
“Sabarlah
anakku. Ini sudah menjadi takdir Allah. Kita harus menerimnya dengan penuh keridhaan….” Hibur Syaikh Musthafa.
Hamid tetap
menangis terisak-isak. Ia bagai melihat perjalanan panjang yang gelap. Ayah
telah tiada. Rumah tidak punya, hanya menempati ruangan dibawah tangga
apartemen berukuran tiga kali empat. Adiknya tiga. Ibunya yang juga mulai
sering sakit-sakitan. Air matanya menetes perih. Syaikh Musthafa seolah mampu
membaca pikiran yang ada dalam benak Hamid. Dengan bijak beliau menghibur,
“Kau masih
punya ayah. Sejak dulu kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Mulai
sekarang akulah ayah angkatmu....”
Perkataan
Syaikh Musthafa bagai embun penyejuk di tengah kehausannya. Seumpama lentera
bagi kegelapan pikirannya. Syaikh Musthafa lalu menjelaskan, sebenarnya sakit
Abu Hamid sudah sangat parah. Dokter sudah berusaha sekuat tenaga, namun
kehendak Allah menentukan lain.
* * *
Hari terus
bergulir. Tak ada manusia yang mampu mengehentikan putaran waktu. Cairo
memasuki bulan Ramadhan. Masjid-masjid lebih penuh dari biasanya. Al Quran
menggema di mana-mana. Di masjid, di kampus, di halte, di stasiun, juga di bis
kota. Hamid semakin aktif mengaji Al Quran pada gurunya. Syaikh Musthafa yang
sangat perhatian.
Pagi itu,
seperti biasa, usai mengaji Al Quran di masjid As Salam, Hamid membantu ibunya
mencuci mobil dibantu adiknya Izzah. Sejak kepergian sang ayah, mereka harus
bekerja lebih giat meskipun tiap bulan ada tunjangan dari lajnah zakat.
Hamid mulai menapak kehidupan yang lebih keras. Namun ia tidak pernah mengeluh
atau bersedih. Ia harus selalu sabar dan tampak bahagia seperti wasiat ayahnya.
Di tengah
kesibukannya mencuci mobil, ia mendengar suara ibunya memanggil. Segera ia
beranjak mendekati ibunya.
“Hamid, kau
dicari polisi?”
“Polisi? Ada
apa Bu?”
“Tak tahulah,
katanya sangat penting!”
Lalu Hamid
pun mengikuti ibunya menemui polisi yang menunggu di depan rumahnya. Polisi itu
langsung menjabat tangan Hamid dengan tersenyum,
“Selamat
untukmu Hamid, Allah yubarik fik ya bunayya !”
“Ada apa
Paman. Bukankah paman adalah komandan polisi yang menerima tas yang saya
temukan itu?”
“Benar,
Hamid. Tenyata kau tidak lupa. Aku datang ke sini untuk memberikan kabar
gembira padamu. Pihak kepolisian dan kementerian pariwisata atas nama
pemerintah Mesir akan memberikan penghargaan khusus atas kejujuranmu.”
“Penghargaan
apa paman? Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku.”
“Ketahuilah
anakku, sikap amanahmu itu telah menaikkan citra rakyat Mesir di luar negeri.
Tas yang kau temukan adalah milik seorang turis wanita keluarga kaisar Jepang
yang sedang berwisata ke Mesir. Saat itu ia dan suaminya naik taksi hendak
pergi ke Ain Sukhnah. Ternyata sopir taksinya seorang penjahat yang baru dua
minggu keluar penjara. Mereka berdua dirampok oleh sopir taksi itu. Koper
suaminya kena rampas. Namun ia sempat membuang tasnya. Dalam tas itu ada
surat-surat berharga dan dokumen penting yang tiada ternilai harganya. Dan
ternyata kau kembalikan dalam keadaan utuh tidak berkurang apa pun. Kejadian
ini membuat pemerintah Jepang sangat berterima kasih dan menghargai bangsa
Mesir. Besok Panglima polisi, Menteri Periwisata dan Duta Besar Jepang di Kairo
akan mengadakan acara resmi memberikan penghargaan padamu. Saya bertugas
menyiapkan penampilanmu dan keluargamu serta menjemputmu. Sekarang bersiaplah,
kita akan ke boutique untuk mencari pakaian yang cocok untukmu.
Dan untuk itu penghargaan akan di
sampaikan setelah shalat ied. Dalam suasana bahagia, di lapangan Buuts Al
Azhar.”
Hamid pun
menurut saja dengan ajakan paman polisi itu. Mendengar itu semua, ibunya menangis bahagia.
* * *
Hari raya
idul Adha tiba. Hamid sekelurga dijemput dengan sedan limousine. Hamid
mengenakan pakaian yang membuatnya tampak gagah. Acara itu berlangsung di lapangan
Buuts Al Azhar. Duta Besar Jepang untuk Mesir datang tepat setelah khotbah ied
dibacakan.
Hamid datang bersama
ibu dan adik-adiknya serta keluarga Syaikh Musthafa. Pada acara puncak Duta
Besar Jepang untuk Mesir memanggil nama Hamid untuk diberi penghargaan dari
pemerintah Jepang.
Hamid maju
dengan polosnya, seolah tidak terjadi apa-apa. Puluhan kamera membidik sosok
mungilnya. Puluhan stasiun televisi Arab dan Jepang menyiarkan acara ini.
Sampai di depan hadirin, Duta Besar Jepang menyalami Hamid dengan hangat. Duta
itu bertanya dengan menggunakan bahasa Arab fusha,
“Ma ismuk
ya Ibni?”
“Hamid
Rasyeed.”
“Kamukah yang
menemukan tas berwarna merah berisi uang dan barang-barang berharga satu bulan
yang lalu di daerah Zahra?”
“Ya.”
“Kenapa kamu
serahkan pada polisi? Isinya kan sepuluh ribu pound. Kenapa tidak kamu ambil
saja uangnya lalu kamu buang tasnya ke tempat sampah, dengan begitu kamu bisa
kaya dan membeli apa saja? Bukankah pada waktu itu tidak ada yang melihatmu?”
“Tas dan
isinya itu bukan milik saya, jadi saya tidak berhak sedikitpun menggunakannya.
Bahkan semestinya membukanya saja saya tidak berhak. Ya, saat itu tidak ada
yang melihatku. Tapi hati nuraniku melihatku. Allah juga melihatku.”
“Apa yang
menyebabkan kau begitu kuat menjaga kejujuran dan amanah.”
“Cinta.”
“Cinta pada
siapa?”
“Cinta pada
Baginda Nabi.”
“Siapa
Baginda Nabi itu?”
“Beliau
adalah Nabi Muhammad, seorang Rasul utusan Allah yang terakhir. Dia bergelar al-amin,
yang penuh amanah dapat dipercaya. Ibundaku pernah berkata padaku bahwa beliau
sangat bahagia dan bangga jika aku mencintai dan dicintai baginda Nabi. Kata
ibu caranya adalah dengan meneladani sifat dan akhlak beliau. Aku ingin ibuku
bahagia. Aku ingin ibuku selalu bangga, maka aku berusaha menjaga untuk selalu
meneladani Baginda Nabi yang jujur, amanah dan dapat dipercaya.”
Mendengar
wawancara itu, hadirin terkesima dan terharu. Hamid menerima penghargaan dari
pemerintah Jepang berupa uang tunai dua ribu pound, peralatan sekolah, beasiswa
sampai perguruan tinggi, dan berwisata ke Jepang satu keluarga di musim panas.
Dari pihak kepolisian dan kementerian wisata Hamid juga mendapatkan plakat
penghargaan dan tabungan senilai lima ribu pound. Dua minggu setelah itu, ibu
Hamid dipanggil kementerian pendidikan untuk menerima penghargaan sebagai ibu
teladan. Sekaligus diangkat menjadi guru TK percontohan di Kairo.
“Anakku, ini
adalah bukti nyata bahwa cinta yang tulus kepada Baginda Nabi bisa mendatangkan
syafaat.” Kata Syaikh Musthafa usai Hamid mengaji di shubuh hari. Rasa cinta
Hamid kepada Baginda Nabi semakin kuat. Ingin rasanya ia berjumpa dan mencium
kedua tangan beliau yang harum. Ingin rasanya selalu hidup bersamanya dan
mencontoh akhlaknya yang mulia.
*HABIBURRAHMAN
EL SHIRAZY adalah novelis terkemuka Indonesia, penerima PENGHARGAAN SASTRA
NUSANTARA tingkat Asia Tenggara tahun
2009. Kini, selain mengelola Pesantren Basmala di Semarang, ia juga diamanahi
untuk menjadi Ketua International League
of Islamic Literature cabang Indonesia, sebuah wadah bagi Sastrawan Dunia
Islam yang berpusat di Riyadh. Ia juga diminta untuk menjadi Wakil Komisi Seni
Budaya MUI Pusat.
0 comments:
Post a Comment