Sunday, April 15, 2012

Habiburrahman El Shirazy - KARENA AKU CINTA BAGINDA NABI


KARENA AKU CINTA BAGINDA NABI

Habiburrahman El Shirazy*

Pagi itu Kairo diselimuti kabut tebal. Jalan-jalan masih lengang. Satu dua orang nampak pulang dari masjid. Semilir angin dingin berhembus menerobos ke dalam gedung lewat sela-sela jendela dan pintu. Pada puncak musim dingin seperti ini, shalat shubuh berjamaah di masjid benar-benar suatu ujian maha berat bagi penduduk kota Kairo. Banyak yang lebih memilih tetap tidur di atas kasur bermanja dengan kehangatan selimut wool buatan Turki.
      Di masjid As Salam, yang terletak di kawasan Hayyul Asyir, Nasr City, beberapa anak kecil membaca Al Quran dengan tartil secara bergantian. Mereka duduk melingkari seorang Syaikh berjenggot putih. Hawa musim dingin yang menusuk tulang tidak mampu menghalangi semangat mereka.
      “Mahmud, kenapa Hamid tidak hadir?” tanya Syaikh Musthafa pada anak berkopiah putih itu. Hamid yang ditanyakan itu memang anak paling rajin dan paling banyak hafalan Qurannya. Tinggal tiga juz lagi, anak berusia sembilan tahun itu akan hafal tiga puluh juz. Ia sangat disayang oleh Syaikh Musthafa. Wajar jika ketidakhadirannya ditanyakan beliau.
      “Saya tidak tahu, Syaikh.” Jawab Mahmud lembut penuh hormat.
      “Kalau begitu, usai halaqoh ini, kau ikut aku ke rumah Hamid. Sebab tidak biasanya ia absen tanpa ijin.” Sahut Syaikh Musthafa.
      “Ya, insya Allah, Syaikh.” Jawab Mahmud.
      Satu persatu anak-anak itu membaca Al Quran secara bergantian. Menjelang waktu syuruq, halaqoh tadarusan Al Quran itu usai. Syaikh Musthafa dan Mahmud bergegas ke rumah Hamid.
* * *
      Sementara itu, di kawasan Mutsallats, dalam keremangan kabut tebal nampak anak kecil bergerak dengan cekatan. Dengan setimba air dan kain lap, ia bergerak mencuci mobil yang di parkir berjejer di depan apartemen satu persatu. Ia begitu bersemangat meskipun bias kesedihan tidak bisa ia sembunyikan dari wajahnya. Seluruh tubuhnya tertutup rapat oleh pakaiannya yang kumal. Hanya muka dan kedua lengannya yang terbuka. Dinginnya hawa pagi membuat kedua tangannya terasa kaku. Namun ia terus bergerak mencuci mobil-mobil itu sambil melantunkan kalam Ilahi…
      “Tabaarakalladzi biyadihil mulku wahuwa `ala kulli syai`in qodiir. Alladzi khalaqol mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu `amala….”
Dengan suara jernih ayat-ayat suci itu keluar dari mulutnya yang mungil. Sementara kedua tangannya bergerak menyapukan kain lap yang dibasahai air ke kaca sebuah sedan Accord. Ya itulah kebiasaannya. Ia selalu mengulang-ulang dua ayat pertama juz Tabarak dalam kerjanya. Ia merasa mendapatkan tenaga tambahan membaca dua ayat itu. Hatinya selalu bergetar, secara otomatis syaraf-syarafnya akan menyalurkan kandungan maknanya ke dalam otak dan ke seluruh pesona tubuhnya…
      “Maha Suci Tuhan yang di tanganNya segala kerajaan, dan Dia Maha Menguasai segala sesuatu. Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah yang paling baik amalnya…”
      Yah, mulutnya melantunkan ayat, hatinya bergetar, otak dan syaratnya bereaksi, kedua tangannya bergerak cekatan. Gerakan kedua tangannya menyapukan serbet basah pada kaca-kaca mobil. Gemericik air saat ia mencelupkan serbetnya ke dalam ember. Serta goyangan tubuhnya mengikuti irama kedua tangannya. Semua itu seumpama tarian kaum sufi yang sedang asyik masyuk dengan Tuhannya. Gerakan-gerakannya itu adalah tadabbur hidup atas dua ayat suci itu. Sementara matanya berkaca-kaca. Dalam pelupuk matanya terbayang ayahnya yang sedang sakit keras. Sementara ibunya, pada waktu yang sama, juga mencuci mobil di tempat yang berlainan. Kedua adiknya yang masih kecil mungkin sedang menangis minta susu. Padahal dirinya dan si Izzah, adiknya, juga butuh biaya untuk membayar SPP sekolah. Ia ingin menangis. Namun, ah, anak lelaki tidak boleh menangis.
“Aku harus perkasa dan tegar. Baginda Nabi dulu juga miskin. Beliau juga bekerja keras pada waktu kecil. Beliau mengembalakan kambing-kambing suku Quraisy. Namun beliau tegar, sabar dan tidak menangis.” Kata Hamid  dalam hati.
 Dengan punggung telapak tangannya ia menyeka air matanya. Lalu kembali bekerja. Angin dingin menerpa wajahnya yang kaku. Bibirnya biru.
      Sejurus kemudian ia mendengar langkah kaki mendekat. Dari ujung matanya ia menangkap dua bayangan di kejauhan semakin mendekat. Seorang kakek bersama anak kecil seusianya. Samar-samar ia mendengar percakapan keduanya.
      Subhanallah, siapa anak kecil itu? Pagi-pagi sedingin ini sudah bekerja keras.” Kata sang Kakek.
      “Anak yang tabah. Oh, sebentar Syaikh, aku sepertinya cukup akrab dengan sosok kecil itu, mari kita mendekat.” Jawab Sang anak yang tak lain adalah Mahmud. Keduanya pun bergegas mendekat. Semantara Hamid tidak begitu mempedulikan percakapan keduanya. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana ia bisa secepatnya menyelesaikan pekerjaannya. Masih ada lima mobil lagi yang harus ia bersihkan.
      Dan betapa terkejutnya Mahmud ketika mengetahui bahwa anak yang sedang mencuci mobil itu adalah Si Hamid, teman mengajinya yang selama ini ia kenal.
      Subhanallah, ternyata kamu Hamid ! Syaikh, ini Hamid !” Kata Mahmud dengan penuh keheranan.
      Syaikh Musthafa pun terhenyak kaget melihat Hamid dengan pakaian tebal dan kumal sedang mencuci mobil. Hamid juga tidak bisa menyembuyikan kekagetannya begitu tahu Syaikh Musthafa dan Mahmud kini ada di hadapannya.
      A..as..assalamu`alaikum Syaikh…” sapa Hamid sambil membersihkan tangannya. Lalu pelan-pelan ia maju menyalami Syaikh Musthafa dan mencium tangan Syaikh Musthafa.
      Wa `alaikumus salam, Anakku.” Jawab Syaikh Musthafa dengan hati haru.
      “Syaikh, maafkan saya. Saya tidak bisa ikut tadarus pagi ini. Saya tidak sempat untuk minta ijin. Ayah saya sakit keras. Saya harus membantu ibu menggantikan kerja ayah. Jika tidak bekerja maka kami sekeluarga tidak bisa makan. Ayah saya hanyalah seorang bawwab. Sudah tiga hari ayah sakit. Dua hari yang lalu saya ingin membantu ayah tapi tidak diperbolehkan. Sejak tadi malam ayah tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Untuk kerjaan mengepel tangga, mencuci mobil dan menyirami taman, sayalah yang harus menggantikan. Biasanya saya ikut membantu ayah tiap hari usai tadarus sebelum berangkat sekolah. Saya ikut membantu mencuci dua atau tiga mobil saja. Karena kondisi ayah yang seperti ini, sekarang saya harus mencuci belasan mobil. Jadi saya tidak bisa ikut tadarus.” Hamid menjelaskan keadaannya, apa adanya. Ia menganggap Syaikh Musthafa sudah seperti kakeknya sendiri. Syaikh Musthafa mendengar keterangan Hamid dengan meneteskan air mata.
      “Sekarang masih ada berapa mobil yang harus kau cuci, Anakku?” tanya Syaikh Musthafa.
      “Masih ada delapan, Syaikh.” Jawab Hamid.
      “Baiklah, aku akan membantumu.” Tukas Syaikh.
      “Oh jangan Syaikh, biar saya selesaikan sendiri. Ini tugasku. Aku tidak boleh manja. Aku harus mampu bekerja dengan kedua tanganku.”
      “Aku tahu prinsipmu, Anakku. Tapi kali ini aku ingin membantumu, biar kamu bisa berangkat sekolah dan tidak terlambat. Aku juga ingin olah raga.” Sahut Syaikh Musthafa sambil melepas sorbannya dan melipat lengan jubahnya. Sementara Mahmud memperhatikan Syaikhnya itu dengan perasaan haru. Syaikh Musthafa memang tokoh yang ringan tangan dan rendah hati. Beliau benar-benar meneladani Baginda Nabi. Suatu ketika Baginda Nabi bepergian bersama para sahabatnya. Di tengah perjalanan mereka kelaparan. Para sahabat pun sama mencari bahan makanan. Ada yang berburu dan ada yang mencari gandum. Akhirnya bahan makanan itu terkumpul semua. Tinggal mencari kayu bakar untuk memasaknya. Saat itu yang belum beranjak adalah baginda Nabi. Maka tanpa malu-malu beliau bergegas mencari kayu bakar. Para sahabat meminta baginda Nabi diam tenang saja, biar mereka yang mencari kayu bakar. Tapi beliau menjawab, “Aku juga ingin mendapat bagian pahala yang sama dengan kalian. Kalian semua sudah bekerja mencari bahan makanan. Sekarang giliranku mencari kayu bakar.” Para sahabat pun semakin hormat dan cinta pada baginda Nabi yang ringan tangan dan rendah hati itu. Begitu juga yang saat itu dirasakan Mahmud, ia semakin cinta dan kagum pada Syaikh Musthafa.
      “Kalau begitu biar aku yang mencari air dan serbet Syaikh.” Sahut Mahmud. Rupanya Mahmud teringat cerita Baginda Nabi mencari kayu bakar. Jika Syaikh Musthafa saja mau membantu Hamid mencuci mobil, maka alangkah tidak berbudinya ia jika diam saja menonton. Mahmud  langsung berlari mencari air dan serbet.
      Sejurus kemudian Syaikh Musthafa dan Mahmud tampak telah ikut membantu Hamid membersihkan mobil. Usai membersihkan mobil ketiganya lalu bertandang ke rumah Hamid.
      “Ayahmu sudah di bawa ke dokter, Hamid?” tanya Syaikh.
      “ Belum.” Jawab Hamid lugu.
      Astaghfirullah, kenapa tidak dibawa ke dokter?”
      “Tidak ada biaya Syaikh. Ayah hanya seorang bawwab. Gajinya hanya cukup untuk makan. Gaji bulan ini sudah habis untuk berobat dua adikku yang masih kecil.”
      “Kalau begitu ayo cepat sedikit jalannya.” Syeikh Musthafa dan kedua muridnya mempercepat jalan mereka.
      “Oh ya Hamid, nanti jangan cerita pada ayah atau ibumu kalau aku membantumu ya.” Kata Syaikh Musthafa. Hamid menjawab dengan mengangukkan kepala.
* * *
      Assalamu`alaikum, Ayah, ada tamu.” kata Hamid.
      Wa..wa `alaikumussalam…ukhg..ukhg…” ayah Hamid memaksakan menjawab dengan suara berat bercampur batuk.
      “Ayah ini Syaikh Musthafa.”
      “Oh, ah…ahlan wa sahlan, syaraftana biziyaratik…” jawab ayah Hamid sambil berusaha bangkit.
      “Jangan dipaksakan bangkit, istirahat saja, biar aku yang mendekat.” Syaikh Musthafa lalu mendekat dan duduk di samping ayah Hamid.
      “Sudah berapa hari tidak enak badan, Abu Hamid?”
      “Sebetulnya saya merasakan sudah sejak setengah bulan yang lalu. Saya anggap akan hilang sendiri. Saya kuatkan untuk tetap bekerja seperti biasa. Tapi sejak tiga hari yang lalu saya benar-benar tidak berdaya. Seluruh tulang rasanya nyeri dan sakit. Ditambah pusing dan batuk yang seperti menggumpal di dada.”
      “Sudah diobati?”
      “Saya sudah minum obat flu. Tapi tidak juga ada perubahan. Padahal biasanya kalau tidak enak badan langsung sembuh diminumi obat flu.”
      “Kebetulan anak saya dokter di rumah sakit Ains Syams. Nanti biar saya minta dia datang ke sini memeriksa Abu Hamid. Sekarang saya mau pamit dulu. Sebetulnya saya ingin bincang-bincang agak lama. Cuma jam tujuh ini saya ada janji, jadi saya harus segera pulang.”
      “Terima kasih Syaikh, maaf jika kami merepotkan.”
      Syaikh Musthafa beranjak meninggalkan rumah Hamid yang hanya berukuran tiga kali empat meter itu. Hamid sangat terharu mendapat kunjungan dari ulama besar itu.
      “Hamid, Syaikhmu itu baik sekali. Orang besar seperti dia, yang tiap malam Jumat mengisi pengajian di televisi, masih mau menjenguk kita yang miskin. Ayah sangat senang sekali. Semoga kamu bisa meniru kemuliaan akhlaknya.” Kata sang ayah setelah Syaikh pergi. Diam-diam Hamid ingin menangis. Kalau saja ayahnya tahu Syaikh Musthafa juga ikut membantu dirinya membersihkan mobil. Ingin rasanya ia memberitahukan hal itu, tapi Syaikh tadi sudah berpesan agar tidak memberitahukan pada siapa-siapa. Cukup mereka bertiga dan Allah saja yang tahu.
* * *
      Hamid dan ibunya menyaksikan dengan seksama bagaimana Dokter Amin memeriksa ayah. Syaikh Musthafa selalu menetapi perkataannya. Hanya berselang satu jam setelah beliau pamitan. Dokter Amin, putra sulung beliau datang ke rumah Hamid dengan membawa dua kaleng susu, roti, mentega, vitrac dan buah Tin.
      “Abu Hamid, sakit bapak kali ini agak serius. Bukan flu atau reumatik. Bapak terkena gejala flu tulang dan paru-paru basah. Belum parah. Tapi perlu perawatan intensif. Sebaiknya Bapak dirawat di rumah sakit, biar cepat sembuh.” Jelas dokter Amin halus.
      “Te…tapi saya keberatan Dokter.” Jawab Abu Hamid.
      “Kenapa? Bapak ingin cepat sembuh kan?”
      “Tentu saya ingin segera sembuh, tapi terus terang Dokter saya tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Dokter sudah lihat sendiri keadaan kami sekeluarga.”
      “Masalah biaya bisa kita pikir bersama sambil jalan. Yang penting Bapak mau di rawat di rumah sakit dulu. Saya akan membantu agar bapak mendapatkan keringanan dan akan saya coba mencarikan bantuan ke Lajnah Zakat Masjid As Salam.” Jelas Dokter Amin.
      “Kalau begitu saya ikut dokter bagaimana baiknya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kalaupun sehat saya hanya bisa mencuci mobil, mengepel lantai dan menyirami taman.”
      “Jangan begitu Pak, semua orang yang mendengar bacaan Quran dan mengenal budi pekerti Hamid selalu bertanya-tanya siapa orang tuanya yang berhasil mendidik anak yang shalih ini. Bapak telah melakukan suatu yang besar.”
      Pagi itu juga Abu Hamid dibawa ke rumah sakit oleh dokter Amin. Hanya ibu yang ikut ke rumah sakit. Hamid harus berangkat sekolah sebab ada ujian. Sementara Izzah adiknya di rumah menunggui adik kembarnya yang masih balita. Sampai di sekolah pikiran Hamid masih saja terpatri pada ayahnya. Ada sedikit rasa khawatir menelusup dalam relung hatinya jika mengingat kemarin malam ayahnya batuk darah. Juga permintaan dokter Amin agar pagi itu juga dibawa ke rumah sakit. “Ya, Allah sembuhkanlah ayahku.” Doa Hamid di dalam hati.
* * *
      Siang itu, matahari tampak di tengah petala langit. Meski tidak secerah musim panas, kehadiran matahari sangat berguna mengurangi hawa dingin kota Kairo. Hamid berjalan sepanjang jalan raya Az Zahra-Mutsallats. Ia agak tergesa. Hatinya ingin cepat-cepat sampai rumah. Berjumpa dengan Izzah dan kedua adik kembarnya. Atau berjumpa ibu jika ibu sudah sampai di rumah dari rumah sakit.
      Ia terus berjalan kaki menyusuri trotoar. Tiba-tiba ia terhenyak. Kedua matanya menangkap sesuatu. Di pinggir trotoar ia menemukan tas wanita sangat cantik tergeletak. Tas siapa gerangan? Hati Hamid agak ragu mengambil tas itu.        Ambil tidak ya?
      Ambil !
      Tidak, itu milik orang!
      Ambil saja, selamatkan tas itu. Jika tidak kau ambil nanti akan diambil orang yang tidak bertanggung jawab!
      Jngan, nanti kau malah kena masalah !
      Ambil dan serahkan pada yang bertanggung jawab!

Akhirnya Hamid memutuskan untuk mengambil tas itu. Ia berniat untuk menyerahkan tas yang ditemukannya itu pada polisi. Ia bergegas menuju pos polisi. Namun di tengah perjalanan ada suara dari nafsunya berbicara :
      “Apa tidak sebaiknya kau buka tas itu untuk mengetahui isinya. Jangan-jangan isinya barang yang tidak baik. Jangan-jangan isinya bom.”
      “Eh jangan kau buka. Itu tas milik orang. Langsung serahkan saja pada polisi, biar polisi yang membuka.”
      “Buka dulu. Kalau isinya obat terlarang kau nanti malah mendapat masalah. Kau bisa kena hukuman berat.”
      “Kau tidak punya hak membuka tas orang. Serahkan pada polisi dan ceritakan apa adanya dengan jujur. Orang jujur pasti mujur.”
      “Masalahnya bukan jujurnya. Biar selamat, buka dan ketahui isinya. Orang jujur yang tidak mujur malah hancur juga ada ! Pokoknya aku sudah memberi tahumu untuk membuka tas itu. Kalau isinya obat terlarang bisa langsung kau buang. Dan kau akan selamat.”
      Ternyata Hamid mengikuti kata hatinya yang mengajaknya untuk membuka tas itu. Perlahan-lahan, di tempat yang sepi Hamid membuka tas itu. Ia sangat terkejut melihat isi tas itu. Isinya adalah uang sebesar sepuluh ribu pound, permata, alat-alat kecantikan dan surat-surat berharga. Melihat uang sebesar itu terjadilah pergolakan hebat dalam hatinya.
      “Sebaiknya aku serahkan uang ini atau tidak pada polisi?” Sebuah pertanyaan muncul dri sudut hatinya. Lalu terbayanglah ayahnya yang sedang sakit keras. Ibunya yang harus mencuci mobil tiap pagi di musim dingin. Adiknya yang belum bayar SPP. Kedua adiknya yang memerlukan susu. Terbayanglah semua penderitaannya yang disebabkan oleh kemiskinan. Kini, di tangannya ada uang yang banyak, juga permata. Dengan uang itu ia bisa melakukan banyak hal.
      “Ambil saja uang dan permata itu. Lalu tasnya buang saja ke tempat sampah. Kau bisa membayar biaya rumah sakit ayahmu dan menolong keluargamu. Kau pun bisa membeli sepeda untuk sekolah. Toh tidak ada yang melihatmu.”
      Tiba-tiba ada kesadaran yang lain angkat suara
      “Kalau pun tidak ada yang makhluk yang melihat, maka Allah Maha melihat. Kedua tangan dan matamu bahkan akan menjadi saksi perbuatanmu. Ayah dan ibumu akan sangat marah atas perbuatan tidak baik itu. Syaikh Musthafa juga akan murka atas ketidakjujuranmu!”
      Hamid lalu teringat pesan ibunya,
      “Aku sangat bahagia dan bangga jika anak-anakku mencintai dan dicintai baginda Nabi.”
      “Bagaimana caranya mencintai dan dicintai baginda Nabi, Bu?” tanyanya seketika.
      “Dengan mengikuti dan meneladani akhlak dan sifat beliau.”
      “Akhlak dan sifat beliau itu seperti apa Bu.”
      “Yang paling jelas, beliau mendapat gelar “al amin” artinya pribadi yang dapat dipercaya. Yaitu pribadi yang jujur dan amanah.”
      Mengingat itu ia menitikkan air mata,
      “Aku ingin dicintai ibu. Aku tidak ingin ibu marah. Aku juga ingin mencintai dan dicintai Rasulullah.”
      Perlahan-lahan ia menutup kembali tas itu lalu membawanya ke kantor polisi. Ia menyerahkan tas itu pada polisi, setelah menceritakan kejadiannya. Hamid pun pulang dengan hati lapang. “Ibu, aku berhak mendapatkan cintamu!”
* * *
      Alangkah herannya Hamid melihat keramaian di depan rumahnya. Orang-orang banyak mengumpul di sana. Dari kejauhan ia melihat bayangan Syaikh Musthafa di sana. Para tetangga juga banyak yang hadir. Semakin mendekat, samar-samar ia mendengar tangis Izzah adiknya. Jangan-jangan…!
Ia mempercepat larinya. Begitu sampai di halaman, Syaikh Musthafa langsung merangkul dan menuntunnya. Ia semakin bingung dan cemas sekali. Begitu masuk rumah ia mendapati ibunya mengalirkan air mata duduk di samping ayahnya yang terbaring diam.
      “Hamid, doakan ayahmu semoga mendapatkan rahmat dan dimasukkan ke dalam surga Allah…” Kata ibunya dengan penuh tabah.
      Menghadapi kenyataan itu, Hamid tidak mampu membendung kesedihannya. Ia menangis tersedu-sedu.
      “Ayaaaah…ayaah…bangun ayah, bangun ayaah! Hamid akan bantu ayah tiap hari mencuci mobil, mengepel tangga apartemen, menyiram halaman…” isak Hamid.
      Syaikh Musthafa mendekap Hamid dengan penuh kasih sayang.
      “Sabarlah anakku. Ini sudah menjadi takdir Allah. Kita harus menerimnya dengan penuh keridhaan….” Hibur Syaikh Musthafa.
      Hamid tetap menangis terisak-isak. Ia bagai melihat perjalanan panjang yang gelap. Ayah telah tiada. Rumah tidak punya, hanya menempati ruangan dibawah tangga apartemen berukuran tiga kali empat. Adiknya tiga. Ibunya yang juga mulai sering sakit-sakitan. Air matanya menetes perih. Syaikh Musthafa seolah mampu membaca pikiran yang ada dalam benak Hamid. Dengan bijak beliau menghibur,
      “Kau masih punya ayah. Sejak dulu kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Mulai sekarang akulah ayah angkatmu....”
      Perkataan Syaikh Musthafa bagai embun penyejuk di tengah kehausannya. Seumpama lentera bagi kegelapan pikirannya. Syaikh Musthafa lalu menjelaskan, sebenarnya sakit Abu Hamid sudah sangat parah. Dokter sudah berusaha sekuat tenaga, namun kehendak Allah menentukan lain.

* * *
      Hari terus bergulir. Tak ada manusia yang mampu mengehentikan putaran waktu. Cairo memasuki bulan Ramadhan. Masjid-masjid lebih penuh dari biasanya. Al Quran menggema di mana-mana. Di masjid, di kampus, di halte, di stasiun, juga di bis kota. Hamid semakin aktif mengaji Al Quran pada gurunya. Syaikh Musthafa yang sangat perhatian.
      Pagi itu, seperti biasa, usai mengaji Al Quran di masjid As Salam, Hamid membantu ibunya mencuci mobil dibantu adiknya Izzah. Sejak kepergian sang ayah, mereka harus bekerja lebih giat meskipun tiap bulan ada tunjangan dari lajnah zakat. Hamid mulai menapak kehidupan yang lebih keras. Namun ia tidak pernah mengeluh atau bersedih. Ia harus selalu sabar dan tampak bahagia seperti wasiat ayahnya.
      Di tengah kesibukannya mencuci mobil, ia mendengar suara ibunya memanggil. Segera ia beranjak mendekati ibunya.
      “Hamid, kau dicari polisi?”
      “Polisi? Ada apa Bu?”
      “Tak tahulah, katanya sangat penting!”
      Lalu Hamid pun mengikuti ibunya menemui polisi yang menunggu di depan rumahnya. Polisi itu langsung menjabat tangan Hamid dengan tersenyum,
      “Selamat untukmu Hamid, Allah yubarik fik ya bunayya !”
      “Ada apa Paman. Bukankah paman adalah komandan polisi yang menerima tas yang saya temukan itu?”
      “Benar, Hamid. Tenyata kau tidak lupa. Aku datang ke sini untuk memberikan kabar gembira padamu. Pihak kepolisian dan kementerian pariwisata atas nama pemerintah Mesir akan memberikan penghargaan khusus atas kejujuranmu.”
      “Penghargaan apa paman? Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku.”
      “Ketahuilah anakku, sikap amanahmu itu telah menaikkan citra rakyat Mesir di luar negeri. Tas yang kau temukan adalah milik seorang turis wanita keluarga kaisar Jepang yang sedang berwisata ke Mesir. Saat itu ia dan suaminya naik taksi hendak pergi ke Ain Sukhnah. Ternyata sopir taksinya seorang penjahat yang baru dua minggu keluar penjara. Mereka berdua dirampok oleh sopir taksi itu. Koper suaminya kena rampas. Namun ia sempat membuang tasnya. Dalam tas itu ada surat-surat berharga dan dokumen penting yang tiada ternilai harganya. Dan ternyata kau kembalikan dalam keadaan utuh tidak berkurang apa pun. Kejadian ini membuat pemerintah Jepang sangat berterima kasih dan menghargai bangsa Mesir. Besok Panglima polisi, Menteri Periwisata dan Duta Besar Jepang di Kairo akan mengadakan acara resmi memberikan penghargaan padamu. Saya bertugas menyiapkan penampilanmu dan keluargamu serta menjemputmu. Sekarang bersiaplah, kita akan ke boutique untuk mencari pakaian yang cocok untukmu. Dan untuk itu penghargaan akan di sampaikan setelah shalat ied. Dalam suasana bahagia, di lapangan Buuts Al Azhar.”
      Hamid pun menurut saja dengan ajakan paman polisi itu. Mendengar itu semua, ibunya menangis bahagia.
* * *
      Hari raya idul Adha tiba. Hamid sekelurga dijemput dengan sedan limousine. Hamid mengenakan pakaian yang membuatnya tampak gagah. Acara itu berlangsung di lapangan Buuts Al Azhar. Duta Besar Jepang untuk Mesir datang tepat setelah khotbah ied dibacakan.
      Hamid datang bersama ibu dan adik-adiknya serta keluarga Syaikh Musthafa. Pada acara puncak Duta Besar Jepang untuk Mesir memanggil nama Hamid untuk diberi penghargaan dari pemerintah Jepang.
      Hamid maju dengan polosnya, seolah tidak terjadi apa-apa. Puluhan kamera membidik sosok mungilnya. Puluhan stasiun televisi Arab dan Jepang menyiarkan acara ini. Sampai di depan hadirin, Duta Besar Jepang menyalami Hamid dengan hangat. Duta itu bertanya dengan menggunakan bahasa Arab fusha,
      Ma ismuk ya Ibni?”
      “Hamid Rasyeed.”
      “Kamukah yang menemukan tas berwarna merah berisi uang dan barang-barang berharga satu bulan yang lalu di daerah Zahra?”
      “Ya.”
      “Kenapa kamu serahkan pada polisi? Isinya kan sepuluh ribu pound. Kenapa tidak kamu ambil saja uangnya lalu kamu buang tasnya ke tempat sampah, dengan begitu kamu bisa kaya dan membeli apa saja? Bukankah pada waktu itu tidak ada yang melihatmu?”
      “Tas dan isinya itu bukan milik saya, jadi saya tidak berhak sedikitpun menggunakannya. Bahkan semestinya membukanya saja saya tidak berhak. Ya, saat itu tidak ada yang melihatku. Tapi hati nuraniku melihatku. Allah juga melihatku.”
      “Apa yang menyebabkan kau begitu kuat menjaga kejujuran dan amanah.”
      “Cinta.”
      “Cinta pada siapa?”
      “Cinta pada Baginda Nabi.”
      “Siapa Baginda Nabi itu?”
      “Beliau adalah Nabi Muhammad, seorang Rasul utusan Allah yang terakhir. Dia bergelar al-amin, yang penuh amanah dapat dipercaya. Ibundaku pernah berkata padaku bahwa beliau sangat bahagia dan bangga jika aku mencintai dan dicintai baginda Nabi. Kata ibu caranya adalah dengan meneladani sifat dan akhlak beliau. Aku ingin ibuku bahagia. Aku ingin ibuku selalu bangga, maka aku berusaha menjaga untuk selalu meneladani Baginda Nabi yang jujur, amanah dan dapat dipercaya.”
      Mendengar wawancara itu, hadirin terkesima dan terharu. Hamid menerima penghargaan dari pemerintah Jepang berupa uang tunai dua ribu pound, peralatan sekolah, beasiswa sampai perguruan tinggi, dan berwisata ke Jepang satu keluarga di musim panas. Dari pihak kepolisian dan kementerian wisata Hamid juga mendapatkan plakat penghargaan dan tabungan senilai lima ribu pound. Dua minggu setelah itu, ibu Hamid dipanggil kementerian pendidikan untuk menerima penghargaan sebagai ibu teladan. Sekaligus diangkat menjadi guru TK percontohan di Kairo.
      “Anakku, ini adalah bukti nyata bahwa cinta yang tulus kepada Baginda Nabi bisa mendatangkan syafaat.” Kata Syaikh Musthafa usai Hamid mengaji di shubuh hari. Rasa cinta Hamid kepada Baginda Nabi semakin kuat. Ingin rasanya ia berjumpa dan mencium kedua tangan beliau yang harum. Ingin rasanya selalu hidup bersamanya dan mencontoh akhlaknya yang mulia.

*HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY adalah novelis terkemuka Indonesia, penerima PENGHARGAAN SASTRA NUSANTARA  tingkat Asia Tenggara tahun 2009. Kini, selain mengelola Pesantren Basmala di Semarang, ia juga diamanahi untuk menjadi Ketua International League of Islamic Literature cabang Indonesia, sebuah wadah bagi Sastrawan Dunia Islam yang berpusat di Riyadh. Ia juga diminta untuk menjadi Wakil Komisi Seni Budaya MUI Pusat.


     








0 comments: