SEBAGIAN TANDA BERSANDAR KEPADA AMAL
(PERBUATAN DHOHIR) ADALAH BERKURANGNYA HARAPAN
(SUASANA HATI) TATKALA BERLAKU PADANYA KESALAHAN
.
Imam Ibnu Athaillah memulai Kalam Hikmah beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal dibagi kepada dua jenis yaitu perbuatan dhohir dan perbuatan hati atau suasana hati berhubung dengan perbuatan dhohir itu. Beberapa orang melakukan perbuatan dhohir yang serupa tetapi suasana hati berhubung dengan perbuatan dhohir itu tidak serupa. Dampak amalan dhohir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan dhohir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan dhohir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun amalan batin. Hati yang bebas dari bersandar kepada amal sama ada amal dhohir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan ketergantungan kepada-Nya tanpa membawa sembarang amal, dhohir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sembarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, dhohir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia. Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapa dan sesuatu. Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada had, sepadan dan tidak terbatas. Oleh karena itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sepadan yang melampaui ketuhanan Allah s.w.t atau ‘memaksa’ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu.Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang dhohir mau pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan dhohir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat. Kedua-dua jenis manusia tersebut percaya bahwa amalannya menentukan apa yang mereka akan peroleh baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia hilang atau kurang bergantung dengan Tuhan. Ketergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, ketergantungan itu bercampur dengan keraguan. Seseorang manusia memeriksa diri sendiri apakah kuat atau lemah ketergantungannya kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmah 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenainya. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya ketergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:
‘Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ‘. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan ketergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Ketergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, direncanakan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan berarti tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperoleh apa yang dihajatkan bukan berarti tidak mendapat rahmat Allah s.w.t. Apa saja yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak mengabulkan hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahwa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.
Orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi yang berbeda. Ketergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang mereka punya, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuk pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmah kebijaksanaan Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.
Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung sebesar mana sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan karena kepentingan diri sendiri, bukan karena Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat merasakan kemakmuran hidup di dunia.Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan dari bala’ penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.
Sebagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka senantiasa leluasai dan segala-segalanya berjalan menurut apa yang direncanakan. Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkauan, mereka cepat panik dan gelisah. Bala’ bencana membuat mereka merasakan seolah olah merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berhasil memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan kepandaian dan kemampuan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombongkan diri
Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan karunia Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan amalnya yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaiannya dalam bidang kerohanian dengan amal yang banyak dilakukannya seperti berdzikir, bersembahyang sunnah, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tartinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia merasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang yang pada peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan melalui amalan Toriqoh tassawuf.
Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada kehebatan amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal dhohir, yaitu perbuatan dhohir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka bersalah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan. Ahli Toriqoh yang masih diperingkat permulaan -kuat bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berdzikir. Jika mereka tartinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.
Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuk juga bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu dhohir atau ilmu batin. Ilmu dhohir adalah ilmu penjelasan dan pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin adalah ilmu yang menggunakan kekuatan ruhani dalam menyampaikan hajat. Ia termasuk penggunaan ayat-ayat al-Quran dan doa. Kebanyakan orang meletakkan kehebatan kepada ayat, doa dan usaha, hingga mereka lupa kepada Allah s.w.t yang meletakkan kehebatan kepada tiap sesuatu itu.
Seterusnya, sekiranya Tuhan izinkan, kerohanian seseorang meningkat kepada maqom yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya maksud kalimat:
Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.
‘Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!’ ( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )
Orang yang di dalam maqom ini tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap melihat bahwa semua amalan tersebut adalah karunia Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak karena taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya.
Allah s.w.t berfirman:
‘Ini ialah dari limpah karunia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) siapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan siapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pengasih’. ( Ayat 40 : Surah an-Naml )
Dan tiadalah kamu berkemauan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (mengaturkan sembarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan siapa yang kehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya. ( Ayat 30 & 31 : Surah al-Insaan )
Segala-galanya adalah karunia Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya kehebatan perbuatan makhluk termasuk perbuatan dirinya sendiri. Maqom ini dinamakan maqom ariffin yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal namun, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadah.
Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, ridho dengan segala yang ditentukan Allah s.w.t, akan senantiasa tenang, tidak berduka cita bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pengeluar dampak ( manfaat )
Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kendaraan yang membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berhasil dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada karunia Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah karunia Allah s.w.t kepadanya dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga karunia-Nya. Seterusnya terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil( bodoh ), serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala hal. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang merajai segala sesuatu dalam alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang senantiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.
Imam Ibnu Athaillah memulai Kalam Hikmah beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal dibagi kepada dua jenis yaitu perbuatan dhohir dan perbuatan hati atau suasana hati berhubung dengan perbuatan dhohir itu. Beberapa orang melakukan perbuatan dhohir yang serupa tetapi suasana hati berhubung dengan perbuatan dhohir itu tidak serupa. Dampak amalan dhohir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan dhohir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan dhohir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun amalan batin. Hati yang bebas dari bersandar kepada amal sama ada amal dhohir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan ketergantungan kepada-Nya tanpa membawa sembarang amal, dhohir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sembarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, dhohir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia. Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapa dan sesuatu. Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada had, sepadan dan tidak terbatas. Oleh karena itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sepadan yang melampaui ketuhanan Allah s.w.t atau ‘memaksa’ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu.Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang dhohir mau pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan dhohir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat. Kedua-dua jenis manusia tersebut percaya bahwa amalannya menentukan apa yang mereka akan peroleh baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia hilang atau kurang bergantung dengan Tuhan. Ketergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, ketergantungan itu bercampur dengan keraguan. Seseorang manusia memeriksa diri sendiri apakah kuat atau lemah ketergantungannya kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmah 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenainya. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya ketergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:
‘Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ‘. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan ketergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Ketergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, direncanakan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan berarti tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperoleh apa yang dihajatkan bukan berarti tidak mendapat rahmat Allah s.w.t. Apa saja yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak mengabulkan hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahwa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.
Orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi yang berbeda. Ketergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang mereka punya, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuk pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmah kebijaksanaan Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.
Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung sebesar mana sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan karena kepentingan diri sendiri, bukan karena Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat merasakan kemakmuran hidup di dunia.Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan dari bala’ penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.
Sebagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka senantiasa leluasai dan segala-segalanya berjalan menurut apa yang direncanakan. Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkauan, mereka cepat panik dan gelisah. Bala’ bencana membuat mereka merasakan seolah olah merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berhasil memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan kepandaian dan kemampuan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombongkan diri
Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan karunia Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan amalnya yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaiannya dalam bidang kerohanian dengan amal yang banyak dilakukannya seperti berdzikir, bersembahyang sunnah, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tartinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia merasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang yang pada peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan melalui amalan Toriqoh tassawuf.
Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada kehebatan amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal dhohir, yaitu perbuatan dhohir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka bersalah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan. Ahli Toriqoh yang masih diperingkat permulaan -kuat bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berdzikir. Jika mereka tartinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.
Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuk juga bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu dhohir atau ilmu batin. Ilmu dhohir adalah ilmu penjelasan dan pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin adalah ilmu yang menggunakan kekuatan ruhani dalam menyampaikan hajat. Ia termasuk penggunaan ayat-ayat al-Quran dan doa. Kebanyakan orang meletakkan kehebatan kepada ayat, doa dan usaha, hingga mereka lupa kepada Allah s.w.t yang meletakkan kehebatan kepada tiap sesuatu itu.
Seterusnya, sekiranya Tuhan izinkan, kerohanian seseorang meningkat kepada maqom yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya maksud kalimat:
Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.
‘Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!’ ( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )
Orang yang di dalam maqom ini tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap melihat bahwa semua amalan tersebut adalah karunia Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak karena taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya.
Allah s.w.t berfirman:
‘Ini ialah dari limpah karunia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) siapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan siapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pengasih’. ( Ayat 40 : Surah an-Naml )
Dan tiadalah kamu berkemauan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (mengaturkan sembarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan siapa yang kehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya. ( Ayat 30 & 31 : Surah al-Insaan )
Segala-galanya adalah karunia Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya kehebatan perbuatan makhluk termasuk perbuatan dirinya sendiri. Maqom ini dinamakan maqom ariffin yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal namun, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadah.
Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, ridho dengan segala yang ditentukan Allah s.w.t, akan senantiasa tenang, tidak berduka cita bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pengeluar dampak ( manfaat )
Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kendaraan yang membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berhasil dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada karunia Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah karunia Allah s.w.t kepadanya dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga karunia-Nya. Seterusnya terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil( bodoh ), serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala hal. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang merajai segala sesuatu dalam alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang senantiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.
0 comments:
Post a Comment