Wednesday, May 9, 2012

Problematika Wanita_Usia dan Masa Haid

USIA DAN MASA HAID




  1. USIA HAID

Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. 



Para ‘ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ? 

Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan : “ hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”. 

Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini , wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut. 



2. MASA HAID 

Para ‘ ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini. 

Ibnu Al Mundzir mengatakan : “ Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”. 

Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika. 

Dalil pertama

Firman Allah subhaanahu wa ta’aala : 

] ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطـهرن [ 

“ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “ haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu , hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah : 222) 

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat ( alasan ) hukumnya(larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci ( tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut. 


Dalil kedua

Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah : 


" افعلي ما يفعل الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري " 

“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”( HR. Muslim :4/ 30) 

Kata Aisyah: “ Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”. 

Dalam shahih Al- Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah : 


" انتظري، فإذا طهرت فاخرجي إلى التنعيم " 

“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke tan’im”. 



Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya. 


Dalil ketiga

Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam , padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasulnya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan RasulNya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya, tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan, minum, tidur, jima’ ( hubungan suami istri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum mu’minin. 

Firman Allah ta’ala : 

] ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء [ 

“……Kami turunkan kepadamu Kitab ( Al Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu ( QS. An Nahl : 89) 

] ما كان حديثا يفترى ولكن تصديق الذي بين يديه وتفصيل كل شيء [ 

“ … Al- Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan ( kitab-kitab ) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu … ( QS. Yusuf : 111) 


Oleh karena itu pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada atau tidak adanya haid

Dalil ini – yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i dari kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan : “ Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini , berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah.( Risalah fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal : 35) 


Dalil keempat

Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan illat ( alasan ) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam illat?. 


Dalil kelima

Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah. 

Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.” 

Kata beliau pula : “ Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau karena luka.” 

Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat di pahami dan di mengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang. 

Firman Allah subhaanahu wa ta’aala : 

] وما جعل عليكم في الدين من حرج [ 

“ Dan Dia ( Allah ) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj : 78) 


Sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam : 

" إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه، فسددوا وقاربوا وأبشروا ) 

“Sungguh agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorang pun yang mempersulit ( berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana ( tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira” ( HR. Al Bukhari ) 

Dan di antara akhlak Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.

0 comments: