Tuesday, May 31, 2011

Lingkungan

Menggagas Pendidikan Kearifan Lingkungan


Hari guru, secara tidak sengaja, hadir dalam situasi duka pasca bencana ekologis yang mengharu biru. Tragedi merapi telah usai, namun tidak menutup celah bencana lain yang masih terus mengintai.
Derita bencana tidak hadir dengan sendirinya. Ada campur tangan kita yang turut mengundang ragam bencana eklogois. Perlakuan destruktif terhadap lingkungan yang selama ini kita rayakan, adalah faktor terbesar wabah bencana lingkungan. Kita harus mengakui, kekalahan cara pandang kita terhadap lingkungan telah sedemikian akut.
Kalah dalam cara pandang terhadap alam (shallow ecology) terjadi dalam dua dimensi. Pertama, kekalahan mengakomodasi wawasan lingkungan. Nihilnya perbendaharaan wawasan lingkungan menjadi gejala akut. Seseorang atau bahkan kelompok masyarakat tidak mengenali karakter lingkungan, cara mengolah atau mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan instabilitas proses alam.
Masyarakat yang tidak mampu mengidentifikasi tanda terjadinya bencana alam, misalnya, berhadapan dengan risiko bencana lebih besar, dibanding mereka yang mafhum mekanisme mitigasi bencana. Masyarakat yang tidak mengerti mekanisme instalasi limbah, akan menimbulkan banyak masalah lingkungan, mulai dari pencemaran hingga problem kesehatan.
Kedua, kedangkalan kearifan lingkungan. Umumnya, masyarakat golongan ini memiliki perbendaharaan wawasan lingkungan secara proporsional. Namun, nihilnya kearifan lingkungan memaksa untuk terus merayakan perlakuan destruktif terhadap alam. Ilegal loging, pencemaran air dan udara, privatisasi air adalah bentuk lazim kejahatan lingkungan (ekoterorisme) karena manusia telah menanggalkan kearifan lingkungan.
Konstruk masyarakat kita masih terbelenggu dalam dua lingkaran kekalahan cara pandang ekologis itu. Sedemikian luas pantai yang seharusnya menjadi lahan konservasi sabuk hijau, menjelma jadi perumahan penduduk. Pola instalasi limbah, dari rumah tangga hingga produksi yang sedemikian parah, pemborosan konsumsi energi yang terus meningkat, pertanian kimiawi yang tak ramah lingkungan dan masih banyak perlakuan destruktif lain. Kondisi masyarakat kita secara sendirinya telah menjelaskan, seberapa akut kekalahan cara pandang ekologis yang diderita.
Wisdom Curriculum
Jawaban atas sengkarut paradigma ekologis ini terletak pada sejauh mana “political will” publik kita untuk mengentaskan diri dari keterpurukan peradaban ekologis. Sense of future yang bersungguh-sungguh perlu dibangun, untuk mengantarkan publik kita kembali menemukan peradaban ekologisnya, setelah sekian lama terjajah arus modernisme yang dengan begitu ambisius menghendaki totalitas dua paradigma turunannya, yakni ilmu pengetahuan dan industri (ekonomi).
Kita, untuk menemukan titik cerah, barangkali perlu meminjam istilah Jeans-Francois Lyotard(1979) yang begitu masyhur, “posmodernisme”. Posmodernisme ingin mengantarkan kita kembali pada pola berpikir pramodern dan kebijaksanaan kuno (philoshopia perennis) yang menjunjung tinggi nilai holistik dan kearifan.
Embrio pemikiran ini, di ruang pendidikan, disambut hangat oleh Patrick Slattery dalam bukunya, Curriculum Development in the Postmodern Era(2006). Ia menawarkan gagasan kurikulum postmodern, yang beberapa di antaranya bermuara pada tema-tema kearifan lingkungan (ecological wisdom).
Pertama, post-anthroposentris. Prinsip ini menggali sense kurikulum untuk menjangkau nilai etika lingkungan yang menekankan keharmonisan dengan alam. Kedua, post-scientific, yang memberlakukan aspek moral, religiositas, etika dan estetika yang memuat nilai-nilai perennial dalam membangun world-view. Ketiga, post-diciplinary of reseach, pandangan yang sensitif terhadap lingkungan dan tidak melulu mekanistik-kosmologik dalam memahami alam.
Pendekatan kurikulum “posmodern” ini selain menjadi pengayaan, juga merupakan “balance” terhadap pendekatan scientific yang sejauh ini terbukti, tidak memberikan sumbangsih dalam pengarusutamaan kearifan lingkungan kecuali sedikit. Justifikasi ini setidaknya menemukan “pembenaran” dalam sengkarut sajian ilmu biologi, misalnya, yang hanya sedikit memberikan kesadaran etis tentang interdependensi ekologis.
Pendidikan kita selama ini belum sepenuhnya mampu menghadirkan nilai-nilai yang berkarakter. Perlu pendekatan berbasis nilai yang dikemas dalam seperangkat materi yang mengakomodir nilai lokalitas. “Local value” ini yang selanjutnya akan membawa peserta didik menyelami ruang lokalnya. Mereka disuguhkan peta lokal dalam ragam pendekatan: keruangan, sejarah, budaya, seni dan tradisi lokal. Peta lokal ini yang akan mengantarkan mereka mengenali identitas lokalnya dalam tema-tema kearifan ekologis.
Pendekatan lokal diasumsikan untuk mengantarkan peserta didik mampu mengidentifikasi karakter lokalnya. Identifikasi ini dimuarakan pada orientasi akademik, penyesuaian materi ajar dengan karakter dan kebutuhan lokal. Sekolah daerah pesisir, misalnya, diperkenalkan dengan potensi dan ancaman ruang lokalnya. Mereka diperkenalkan dengan fungsi konservasi hutan pantai, mempelajari tanda bencana, mekanisme mitigasi dan sebagainya. Siswa hadir dalam kepentingan belajar dan resolusi problem sekaligus.
Riset
Suksesi pendidikan kearifan lingkungan yang mengakomodasi unsur lokalitas menjadi momok penting dalam membangun peradaban ekologis. Nilai kearifan lokal perlu digali maksimal untuk segera menemukan format pendidikan yang ideal. Dalam situasi inilah, peran civitas akademik menemukan momentumnya. Dosen, guru, dan pelaku pendidikan berkepentingan untuk dengan bersungguh-sungguh, melakukan serangkaian riset. Mereka perlu menggali potensi lokal dalam ragam kode demografi wilayah, karakter lingkungan, akar sejarah dan simbol-simbol tradisi lokal, untuk diterjemahkan ke dalam wawasan-kearifan lingkungan.
Hasil riset ini menjadi cikal muatan lokal yang mendukung suksesi pendidikan kearifan lingkungan. Ia sekaligus merupakan langkah progresif dalam rangka membangun watak pendidkan nasional yang berkarakter dalam semangat lokalitas.






0 comments: