PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH NAWAWI BANTEN
Abstract: This article uncovers Syech Nawawi Banten's thoughts on Tasauf (mystical order)in his exegesis, Marah Labib, and its relationship with the contemporary thoughts. This library research employs descriptive analytical model where his thoughts on Tasauf are analyzed using content analysis by considering the historical approach to interpret the phenomena, events around his life in the past and then correlate them all with the recent condition. It is found that his thoughts are in line with his apprehension of the élan of the holy Quran. His Tasauf is ethical-oriented in nature, and if it is actualized in the believers' life, this will bring them into pure obedience (iman) towards Allah, their very Creator.
Kata Kunci: Tasawuf, Syekh Nawawi Banten
Nabi Muhammad merepresentasikan dan mengekspresikan ajaran Islam dalam al-Qur’an melalui tindakan (fi’liyah) yang kemudian diterjemahkan dalam kata-kata (qauliyah). Nabi terlebih dahulu mengajarkan bagaimana cara mengabdi kepada Allah, bagaimana bersikap sederhana, bagaimana bermasyarakat dan lain sebagainya, baru kemudian ia mengajarkan ajaran yang termaktub dan tertuang di dalam kitab suci al-Qur’an diajarkan kepada para sahabat-sahabatnya (Gulen, 2002: 197).
Setelah Nabi wafat, muncul berbagai problem-problem umat. Problem politik merupakan yang pertama dan lebih menonjol ke permukaan, berikutnya barulah muncul mazhab dalam berbagai bidang, seperti politik, teologi, fiqh dan tasawuf yang selanjutnya menampilkan diri sebagai disiplin ilmu keislaman (Syukur, 2004: 32).
Tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, awalnya muncul sebagai reaksi keras terhadap kaum penguasa Dinasti Umayyah yang hidup dalam kermewahan, mereka biasa makan dengan alat perabotan dari emas dan perak serta mementingkan kehidupan duniawi serta mengenyampingkan kehidupan ukhrawi. (Jordac, 2000: 236) Prilaku tersebut dinilai bertentangan dengan kesalehan dan kesederhanaan yang telah dipraktekkan langsung oleh Nabi dan khalifah al-rasyidin yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, serta Ali bin Abu Thalib.
Ketika Abu Bakar melanjutkan kepemimpinan Nabi, dunia mendatanginya penuh hina, ia tetap zuhud. Ia kenakan busana yang dipeniti, hingga ia dikenal sebagai si dua peniti. Demikian pula Umar, yang hidup dari roti dan minyak zaitun. Tambalan busananya ada dua belas, di antaranya ada yang ditambal dengan kulit, padahal perbendaharaan Khasra dan Kaisar tersedia baginya. Adapun Usman bin Affan, ia berbusana dan tampil bak budak-budaknya. Konon pernah terlihat ia keluar dari salah satu kebunnya dengan seikat kayu bakar di pundak, kala ditanya, ia menjawab, aku ingin tahu apakah hatiku berontak. Sedangkan Ali ketika meneruskan khilafah, ia beli sebuah sabuk dan busana seharga masing-masing empat dirham. Kala didapatinya lengan busana terlalu panjang, pergilah ia kepada seorang tukang sepatu, serta merta diambilnya pisau dan dipotongnya sendiri lengan busana itu, padahal dia seorang khilafah (Arbery, 1993: 35-36).
Tasawuf yang telah tumbuh sejak tumbuhnya Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam pribadi yang agung pembawa ajaran Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad yang bersumberkan dari dalam kitab suci al-Qur’an al-karim. Sedangkan untuk mengetahui isi kandungan kitab suci al-Qur’an diperlukan tafsir. Tafsir dari segi bahasa diartikan sebagai al-idhah wa at-Tabyin (Shabuni, 1970: 73) yang berarti menjelaskan dan menerangkan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Furqan, ayat 33: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.
Sedangkan menurut pengertian istilah, tafsir dipahami sebagai ilmu yang membahas al-Qur’an dari segi dalalah (maksud dan petunjuk)nya sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah, sesuai dengan kadar kemampuan manusia (Zarqani, tt: 471). Banyak tafsir telah ditulis oleh mufassir sejak wafat Nabi, salah satu karya tulis tafsir yang beredar hingga kini adalah Tafsir Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid karya Syekh Nawawi Banten. Karya ini dijadikan sebagai salah satu rujukan oleh dunia pesantren dalam memahami dan mendalami teks-teks ilmu keagamaan.
Syekh Nawawi Banten (1813 – 1897) adalah salah seorang tokoh intelektual muslim yang menjadi kebanggaan ummat Islam Indonesia. Kebanggaan yang ditujukan kepadanya agaknya tidaklah berlebihan karena keberadaannya telah memberikan kontribusi yang besar terhadap dunia intelektual dan citra Islam Indonesia di mata dunia Islam. Para ulama Mesir menganugerahkan gelar kepadanya dengan sebutan “Sayyid Ulama Hijaz” yang artinya “Pemimpin para ulama Hijaz”. Diakhir karirnya sebagai seorang alim di Hijaz, gelarnya begitu mengesankan sehingga ia mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah dalam sebuah puisi: Tidak diragukan, ilmu pengetahuan adalah sumber cahaya yang menerangi pemiliknya. Di manapun sang pemilik berada, dia akan senantiasa dihormati (Mas’ud, 2004: 111-112).
Kebesaran Syekh Nawawi Banten dapat dibuktikan melalui karya ilmiah beliau dalam berbagai disiplin ilmu. Salah satu diantaranya adalah Marah Labid yang merupakan sebuah karya bidang tafsir yang diakui kedalaman ilmunya, ia banyak dipelajari kalangan pondok pesantren di Indonesia dan menjadi kurikulum pondok pesantren yang wajib dipelajari selama mengikuti proses belajar mengajar.
Kitab tersebut banyak mengungkapkan unsur-unsur ajaran tasawuf di dalam Islam yang bila diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari akan melahirkan insan-insan bermoral yang berdasarkan Islam, yang sangat didambakan dan diperlukan dalam memimpin dan membangun negara Indonesia ini ke arah kemajuan yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran, sehingga setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Berdasarkan deskripsi di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pemikiran Syekh Nawawi Banten dalam bidang tasawuf melalui karyanya Tafsir Marah Labid. Mengingat kontribusi dan ketenarannya yang dikenal luas kalangan santri di tanah air. Penulis juga melihat bahwa kitab tersebut dapat memberikan suatu solusi menghadapi krisis kegersangan jiwa, kegundahan hati, dan ketidakbahagiaan hidup yang menghinggapi masyarakat modern.
RUMUSAN MASALAH
Untuk mengaktualisasikan keinginan penulis, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini terfokus pada problem konseptual pemikiran tasawuf Syekh Nawawi Banten yang tertuang dalam tafsir Marah Labib dan relevansinya dengan konteks kekinian.
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Adapun tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis lebih dalam konteks pemikiran Syekh Nawawi Banten tentang Tasawuf, serta mengetahui relevansinya dengan kekinian. Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan sumbangan pikiran terhadap kekayaan khazanah Islam di bidang tasawuf dalam pola kerangka pemikiran Syekh Nawawi Banten. Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi krisis moral dan spritual yang terjadi di era modern ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang didasarkan pada kitab Tafsir Marah Labid yang sekaligus menjadi data primer dalam penbelitian ini, sedangkan berbagai sumber yang ada hubungannya dengan penulisan ini dijadikan sebagai data sekunder.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya berupaya mendiskripsikan ajaran tasawuf Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Tafsir Marah Labid, yang kemudian dianalisis melalui analisis isi (content analysis). Metode ini digunakan untuk menganalis makna yang terkandung dalam pemikiran-pemikiran Syekh Nawawi Banten. Berdasarkan isi yang terkandung dalam pemikiran Syekh Nawawi Banten tersebut kemudian dilakukan pengelompokkan dengan tahapan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.
Di samping itu juga penulis melakukan pendekatan sejarah (historical approach) yaitu penyelidikan yang mengaplikasikan metode pemecahan ilmiah dari perspektif suatu masalah, yang meliputi pengumpulan data dan penafsiran suatu gejala, peristiwa maupun gagasan yang timbul di sekitar dan dalam diri Syekh Nawawi Banten. Selanjutnya penulis berusaha mengemukakan generalisasi yang berguna dalam upaya memahami kenyataan sejarah, bahkan penulis kaitkan dengan situasi sekarang (Surahmad, 1980: 132).
Kajian tentang Syekh Nawawi Banten juga dilakukan oleh Sri Mulyati yang berjudul “Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi al-Banteni’s Salalim al-Fudala”. Karya tersebut selain menyoroti perkembangan sufi di Indonesia, juga tentang pola pikir tasawuf Syekh Nawawi Banten dalam Salalim al-Fudala. Namun kitab tersebut bukan karya asli (no original work) Syekh Nawawi Banten dan kitab itu hanya sebuah penjelasan (syarah) dari kitab Manzuma Hidayat al-Adhkiya ila Tariq al-Awliya karya Zayn al-Din al-Malibari. Sedangkan yang penulis teliti adalah pemikiran Tasawuf Syekh Nawawi Banten dari kitab Tafsir Marah Labid yang merupakan satu-satunya karya asli Syekh Nawawi Banten. Selain itu juga penulis berusaha mengetahui relevansinya dengan kehidupan kekinian.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Tasawuf Dalam Perspektif Syekh Nawawi dan Relevansinya Dengan Kekinian
Secara umum Tafsir Marah Labid karangan Syekh Nawawi banyak membicarakan persoalan dan peristilahan umum dikenal dalam dunia tasawuf. Istilah-istilah tersebut dibicarakan secara lugas dalam bingkai tasawuf, di antara konsep-konsep tersebut adalah:
Taubat
Taubat berarti “kembali”, yakni kembali dari kemaksiatan kepada Allah dengan penuh rasa penyesalan (Ma’luf, 1995: 95). Kembali yang dimaksud di sini menurut Syekh Nawawi adalah kembali dari sesuatu yang dicela di dalam ajaran syari’at Islam kepada sesuatu yang dipuji, serta mengetahui dan menyadari bahwa segala dosa, maksiat itu dapat menjauhkan diri dari Allah (Nawawi, tt: 37-38).
Definisi taubat tersebut dapat dirujuk dalam al-Qur’an, terutama pada QS al-Baqarah 2: 160, QS Ali ‘Imran 3: 135 dan QS an-Nisa 4: 17-18. Menurut Nawawi, QS al-Baqarah 2: 160, menerangkan tentang penyesalan manusia atas segala dosa yang pernah diperbuat dan berazam tidak akan mengulanginya lagi, jika kedua hal tersebut dilakukan secara konsekwen maka dengan kasih sayang-Nya, Allah akan menerima taubat mereka (Nawawi, tt: 42). Adapun QS Ali ‘Imran 3: 135, menurut Nawawi menerangkan tentang orang yang mengerjakan maksiat dan dosa kemudian takut kepada Allah, lalu bertaubat dengan menyesali perbuatan dosa serta bertekad meninggalkan perbuatan dosa tersebut pada masa akan datang dan inilah hakikat taubat…(Nawawi, tt:120). Sedangkan QS an-Nisa 4: 17-18 menerangkan, bahwa Allah menerima taubat hamba-Nya yang berlumuran dengan maksiat dan dosa berdasarkan kemuliaan dan keutamaan-Nya…(Nawawi, tt: 144).
Nawawi menegaskan kondisi orang yang diterima taubatnya oleh Allah dengan menjanjikan dua hal, yaitu: pertama, dosanya akan diampuni Allah, sehingga tidak ada dosa yang melekat pada dirinya kedua, janji Allah di akhirat yakni mendapat derajat yang mulia disisi Allah dan diakhirat nantinya akan dimasukkan ke dalam sorga sebagai ganjaran atas menangnya perjuangan diri sendiri dalam usaha membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu dan bujuk rayu setan.
Sebaliknya orang yang tidak melakukan taubat, menurut Nawawi, akan mendapat balasan dari Allah yaitu, pertama, orang-orang yang selama hidupnya berlumuran dengan dosa dan maksiat dan sama sekali tidak bertaubat, maka akhir hidupnya dalam kondisi yang sangat menyedihkan sekali yaitu meninggal dunia tidak beriman (su’ul khatimah), sebagaimana yang dialami Fir’aun bersama balatentaranya yang ditenggelamkan Allah di laut Merah, ketika mengejar Nabi Musa bersama pengikutnya; kedua, janji Allah di akhirat, mereka akan dimasukkan ke dalam neraka disiksa dengan berbagai siksaan yang pedih, sebagai balasan atas mereka selama hidupnya di dunia yang hanya memperturutkan kehendak bebas hawa nafsu dan setan.
Proses bertaubat itu sendiri mempersyaratkan beberapa syarat yang mesti ditempuh manusia, yaitu: adanya rasa penyesalan yang mendalam; meninggalkan segala bentuk perbuatan buruk dan maksiat; mereformasi diri dengan beralih dari stuasi yang buruk menuju ke stuasi yang baik dan lebih baik.
Semua syarat taubat itu tidak dapat dilakukan manusia dengan baik dan benar, bila tidak disertai dengan ilmu yang bisa memberikan kesadaran bahwa kemudharatan maksiat dan dosa yang telah dilakukan selama ini menjadi jurang pemisah yang sangat jauh antara manusia berdosa dan Allah. Ilmu yang bermanfa’at itu dalam pandangan Syekh Nawawi adalah ilmu yang dapat menambah rasa takut terhadap Allah dan menambah pengetahuan terhadap keaiban diri, menambah pengetahuan tentang pengabdian terhadap Tuhan, mengurangi kegemaran terhadap dunia, menambah kegemaran terhadap akhirat, dan membuka pengetahuan terhadap perbuatan yang sia-sia, sehingga seseorang dapat terpelihara dari maksiat. (Nawawi, tt: 33).
Al-Qur’an menyerukan agar manusia senantiasa bertaubat, hal ini dapat ditemukan antara lain di QS Huud 11: 3, dan QS at-Tahrim 66: 8, pada QS Huud 11: 3. Syekh Nawawi menerangkan ayat tersebut mengandung perintah untuk bertaubat kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya seraya memohon kepada-Nya agar perbuatan dosa seperti syirik akan terampuni. Tindakan ini tentunya disertai dengan upaya untuk melaksanakan segala perintah Allah dengan penuh keta’atan dan keikhlasan, agar dalam kehidupan mendapat ridha dari Allah hingga akhir hayat (Nawawi, tt: 378). Sedangkan QS at-Tahrim 66: 8 menurut Nawawi mengandung anjuran melakukan taubat dengan sebenar-benar taubat yaitu menyesali atas perbuatan dosa yang dilakukan di masa lalu dan bertekad tidak mengulanginya lagi di masa akan datang (Nawawi, tt: 375).
Pernyataan-pernyataan di atas, mengajarkan bahwa taubat tidak hanya sebatas menyesali atas perbuatan dosa yang dilakukan di masa lalu dan bertekad tidak mengulanginya di masa yang akan datang, tetapi juga mesti dibarengi dengan pergaulan yang baik dan benar dengan cara memilih teman yang wara’, mempunyai tabi’at yang jujur serta menjauhi orang yang pemalas, pengangguran, banyak bicara, pembuat kerusakan (trouble maker), tukang fitnah. Sebab teman bisa membawa pengaruh negatif dan positif bagi diri seseorang. Ini sangat penting diperhatikan agar tidak terjatuh dan terjerumus kejurang kemaksiatan sekali lagi.
Bahkan Nabi Muhammad sendiri mengisyaratkan pengaruh teman itu dengan mengumpamakan teman yang saleh dengan teman yang jahat seperti tukang minyak kesturi dengan tukang besi, tukang kesturi memberimu yang baik, maka kamu akan mendapat bau yang wangi, sebaliknya tukang besi bisa membakar bajumu, atau setidak-tidaknya kamu akan mendapatkan bau yang tidak sedap darinya.
Lebih jauh Nawawi menerangkan bahwa orang yang terlibat tindakan kriminal seperti korupsi, membunuh, mencuri dan lain sebagainya, kemudian dia menyesali dan insyaf bahwa perbuatannya tersebut adalah tindak kejahatan yang merugikan orang banyak, keinsyafannya tersebut tidak serta merta dapat melepaskannya dari jeratan hukum, ia tetap divonis setimpal dengan perbuatannya. Hanya saja di akhirat kelak ia tidak dihukum lagi, dikarenakan hukumannya sudah dijalani semasa di dunia. Isyarat ini dapat ditangkap dari firman Allah “Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Maidah 5: 39). Orang yang bertaubat kepada Allah setelah melakukan pencurian kemudian bertaubat dengan niat yang tulus serta bertekad tidak akan mengulanginya lagi, maka Allah berkenan menerima taubatnya atas kemuliaan dan kebaikan-Nya, karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan perbuatan mencurinya tersebut tidak diazab lagi di akhirat, akan tetapi di dunia hukumannya tidak gugur had potong tangan tersebut dengan sebab taubat (Nawawi, tt: 165).
Nawawi mengatakan pula bahwa orang yang melakukan taubat termasuk golongan orang-orang beriman, bertakwa yang berhak mendapat fasilitas sorga di akhirat kelak, pendapatnya ini berdasarkan isyarat yang terkandung dalam Surah at-Taubah 9: 112 dan QS Maryam 19: 40. Kedua ayat ini juga menunjukkan bahwa taubat merupakan penyucian diri dari segala najis baik itu bathiniah maupun lahiriah.
Karena untuk mendekatkan diri kepada yang maha suci terlebih dahulu melakukan proses penyucian melalui ibadah, karena ibadah yang ada dalam ajaran Islam menurut Jalaluddin Rakhmat (1996: 16-17) semuanya bermuara menyucikan diri manusia yang melaksanakannya, seperti dalam syahadat menyucikan aqidah dari segala kemusyrikan, shalat menyucikan diri berbagai perbuatan munkarat dan buruk dengan senantiasa mengingat-Nya. Puasa menyucikan diri dengan mengendalikan hawa nafsu dan menundukkannya sesuai dengan perintah Allah. Zakat menyucikan harta dengan memberikan segala kelebihan kepada para mustahiq. Haji menyucikan segala kehidupan dengan mengarahkan seluruh perjalanan menuju Allah.
Ibadah yang dikerjakan orang bertaubat dengan ketulusan hati, menurut Nawawi segala kejahatannya akan diganti dengan kebaikan, sebagaimana sabda Nabi terhadap sahabat Mu’az: “iringi kejahatan itu dengan kebaikan, niscaya akan dihapuskan segala kejahatan dan berakhlaklah kamu kepada sesama manusia dengan akhlak yang baik dan mulia, dikarenakan Allah Maha pengampun dan penyayang”. Terhadap orang-orang yang taubat dari dari segala bentuk perbuatan maksiat dengan meninggalkan dan menyesalinya serta mengerjakan amal saleh, maka dia kembali kepangkuan Allah disisinya dalam kondisi diridhai (Nawawi, tt: 103).
Pelajaran yang dapat diambil dari ajaran taubat adalah bahwa orang yang menderita dapat mengungkapkan perasaan berdosa dan salahnya kepada Allah, serta memperbaiki kekeliruannya. Karena orang yang melakukan taubat akan merasakan ketenangan batin, merasa pengakuan dosa dan penyesalan nya didengar dan diterima Allah serta memperoleh ampunan dan kasih sayang-Nya. Hal ini dapat dicapai apabila orang yang melakukan taubat kepada Allah dengan taubat nasuh dan menjadikan taubat sebagai pengobatan. Setiap kali orang bertaubat, berarti setiap kali itu pula ia membina dirinya dengan kelegaan batin. Semakin sering orang bertaubat, semakin bersih hatinya dari rasa berdosa, bersalah, dan kelalaian, dan akan semakin tenang dan tentram jiwanya, serta semakin dekat dirinya kepada Allah.
Zuhud
Zuhud berasal dari bahasa Arab: zahada yazhadu zuhdaan, berarti tiada ingin (kepada) sesuatu, membenci dan meninggalkan (Munawir, 2002: 958), sementara itu Syekh Nawawi Banten memahami zuhud sebagai menjauhkan diri dari segala yang diharamkan baik dosa besar maupun kecil, dan mengerjakan segala yang diwajibkan Allah baik mudah maupun sulit, serta menjauhi dunia baik itu sedikit maupun banyak (Nawawi, tt: 15).
Zuhud telah ada jauh sebelum tasawuf lahir, yang muncul karena dua faktor: Pertama, faktor kondisi sosial politik serta konflik yang terjadi dikalangan umat Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Usman hingga pada masa Ali. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu berdampak terhadap keberagamaan umat Islam. Perpecahan menjamur ditandai dengan munculnya golongan (firqoh) seperti: Syi’ah, Khawarij, Murjiah dan lain sebagainya. kesuntukan melihat realita yang menyedihkan ini, akhirnya membawa sebahagian sahabat untuk mengambil tindakan tengah-tengah. Tujuannya agar tidak terjerumus dalam kancah perpolitikan pada masa itu. Mereka memilih mengisolasi diri. Tercatat nama-nama sa’at itu: Sa’id bin Waqash, Sa’ad bin Malik, Muhammad bin Maslamah al-Ansari, dan Usamah bin Zaid al-Haritsah. Nama-nama inilah nantinya memunculkan gerakan zuhud (Taftazani, 1985: 62). Kedua, faktor ajaran Islam itu sendiri yang bersumber pada kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits. Banyak ayat al-Qur’an yang memotivasi umatnya untuk menjauhkan diri dari berbagai pengaruh dunia serta meningkatkan amal ibadah demi memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Begitu pula banyak ditemukan hadits fi’liyah yang menggambarkan kesederhanaan Muhammad Rasulullah SAW sebagai manifestasi kehidupan zuhudnya. (Sa’ad, tt: 401)
Sehubungan dengan zuhud, Nawawi mengingatkan agar manusia tidak terjebak atas kesenangan dunia, sehingga melupakan hubungan dengan Allah, karena kesenangan dunia tersebut tidak kekal (Nawawi, tt: 90). Berdasarkan QS al-Hadid 57: 20 Nawawi menjelaskan, bahwa kehidupan dunia itu hanya permainan yang membuat lalai dan letih, dan hanya melahirkan kekecewaan, karenanya orang bijak mengatakan harta dan umur keduanya akan berlalu begitu saja. Perhiasan akan terus-menerus membuat orang lupa karena yang dicari adalah berupa perhiasan yang mengelokkan yang jelek serta menutupi kekurangan. Dan bermegah-megahan antara kamu karena keturunan, kekuatan, kekuasaan, bala tentara, kesemuanya itu akan berlalu begitu saja. Dengan memiliki banyaknya harta dan anak, maka kehidupan dunia itu tidaklah dicela, yang dicela hanyalah membalikan kehidupan dunia tersebut taat kepada syetan dan hawa nafsu serta tidak taat kepada Allah. Menyibukkan kehidupan dengan kehidupan dunia bagaikan hujan yang mengagumkan para petani yang menanam tanaman dengan turunnya hujan, kemudian tanaman itu lalu mengering, warnanya kuning, setelah engkau melihatnya menguning, kemudian tanaman itu menjadi hancur, dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras bagi orang yang hidupnya bersifat dengan sifat ini, dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya bagi kekasih-Nya, orang yang berbuat taat dan keridhaan-Nya lebih besar dari derajat pahala. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu bagi orang yang menerimanya dan menjauhkan dari tujuan akhirat. Said bin Jabir mengatakan dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu maksudnya bahwa Tuhanmu menyuruh mencari tujuan akhirat, maka apabila kamu meninggalkannya untuk menggapai ridha Allah dan tujuan akhirat, maka dunia itu adalah sebaik-baik perhiasan dan sebaik-baik perantara (Nawawi, tt: 354).
Konsep zuhud yang dipahami Syekh Nawawi Banten di atas adalah menjauhkan diri dari segala yang diharamkan dan mengerjakan segala yang diwajibkan Allah. Menjauhi bukan berarti meninggalkan sama sekali, sebab dunia adalah merupakan jembatan untuk mencapai atau menuju akhirat, hanya saja dunia itu diambil sekedar untuk keperluan saja. Artinya yang diambil sekedar untuk keperluan saja, bukannya untuk berbangga-bangga, bermegah-megahan, dan dipuji orang.
Dihubungkan dengan kontek kekinian, konsep zuhud diperlukan dalam upaya perbaikan moral, serta menjauhkan manusia dari dekadensi moral yang menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Yaitu melalui meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah dan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan Allah.
Sabar
Sabar berarti tabah hati, menahan dan mencegah diri dari sesuatu (Munawir, 2002: 760). Sementara itu, menurut Syekh Nawawi, sabar merupakan kemampuan menahan diri atas sesuatu yang dirindukan dan dari berbagai kegelisahan, kecemasan ataupun kerisauan hati (Nawawi, 1343: 15).
Dalam al-Qur’an sabar dengan tegas dan gamblang diperintahkan kepada setiap pribadi muslim dalam kondisi apapun dan bagaimanapun, seperti yang diperintahkan dalam QS al-Baqarah 2: 177 dan surah Ali-Imran 3:200. Menurut Nawawi QS al-Baqarah 2: 177, menerangkan bahwa orang yang benar-benar adalah orang-orang yang sabar diwaktu kesusahan, menderita sakit, kelaparan dan ketika berperang di jalan Allah (Nawawi, tt: 45). Sementasra pada QS Ali Imran 3: 200, menurut Nawawi menunjukkan perintah bersabar dalam tiga hal, yaitu bersabar dalam menjalankan perintah Allah baik yang wajib maupun yang sunat; Bersabar dalam menghadapi musibah berupa sakit, miskin, takut; dan bersabar dalam menahan dan meninggalkan perbuatan keji dan munkarat. Yang dimaksud dengan tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu) artinya berjuanglah dengan sekuat tenaga melawan hal-hal yang merupakan sumber dari segala perbuatan yang jelek berupa syahwat, marah dan tamak (Nawawi, tt: 138).
Semua bentuk kesabaran di atas menurut Nawawi bersifat dinamis dan menuntut perjuangan dalam menyikapinya. Sabar dalam ketaatan kepada Allah misalnya menuntut perjuangan untuk sabar dalam melaksanakan segala yang difardhukan Allah dan meninggalkan segala yang dilarangnya, ini dapat dilihat dari firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”(QS al-Baqarah ayat 153).
Sabar dalam menghadapi musibah, misalnya orang sakit seharusnya bersabar terhadap cobaan Allah yang diberikan kepadanya dengan tidak berkeluh kesah merasakan bahwa sakit yang dideritanya akan menyebabkan berkurang dosa yang ditanggungnya. Sedangkan Sabar dalam menghadapi hawa nafsu, menurut Nawawi adalah menahan diri dari kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu dan bisikan syetan yang diharamkan. Ini dapat dilihat dari firmannya “…Menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…”(QS. An-Nazia’at ayat 40). Pemahaman ayat ini, setidaknya menunjukkan tentang sabar terhadap hal-hal yang dilarang Allah berupa hawa nafsu yang mesti dilawan manusia karena merupakan sumber segala perbuatan jelek berupa tamak, dengki, takabur, riya’, korupsi dan lain sebagainya. (Jaho, 1972: 16).
Dalam kehidupan sehari-hari sikap sabar ditekankan sebagaimana firman Allah “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar” (QS al-Ahqaf ayat 35). Ayat ini dipahami Nawawi, sebagai anjuran untuk sabar terhadap hukuman dari kaum kafir sebagaimana kesabaran pembawa syari’at yang berjuang dalam menyampaikan risalah-Nya, mereka itulah orang-orang yang bersabar ketika menghadapi orang-orang yang memusuhinya. (Nawawi, tt: 297).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sabar merupakan pengendalian hawa nafsu berdasarkan syariat agama, yang dapat menjadi solusi yang tepat dan akurat dalam mengendalikan hawa nafsu. Sikap sabar ini dapat membawa ketenangan jiwa, karena dapat memupuskan manusia dari keinginan hawa nafsu yang merupakan sumber kesusahan. Apabila orang dapat bersabar dengan penuh keimanan, serta dapat menyadari bahwa Allah bersama orang yang sabar, maka ia dapat menjadikan sifat tersebut sebagai pengobatan. Kalau dengan sabar dapat diperoleh ketenangan jiwa, maka setiap kali orang bersifat sabar, berarti setiap kali itu pula dia memperoleh ketenangan jiwa.
Ridha
Ridha berarti senang, suka, rela (Nawawi, 2002: 505). Sementara Syekh Nawawi Banten mengartikan ridha dengan kelapangan hati menerima terhadap segala yang dibagi dan diterima (Nawawi, 1343: 15). Definisi yang dikemukakan di atas, mereflesikan tentang orang yang rela melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. (Solihin, 2003: 21).
Ridha merupakan salah satu sifat terpuji yang digalakkan Islam di antaranya dalam QS al-Baqarah 2: 307. Ayat ini ditafsirkan Syekh Nawawi Banten (tt: 54) bahwa diantara manusia ada orang yang berkorban dengan diri dan hartanya hanya untuk mencari keridhaan Allah. Menurut Ibnu Abbas ayat ini turun ketika Suhaib hijrah ke madinah dan berkata kepada kafir Quraish saya adalah seorang tua, mempunyai harta dan kesenangan, saya berikan kepadamu harta dan perhiasanku, saya relakan harta benda kepadamu untuk agamaku, lalu kafir Quraish merelakan dia pergi hijrah dan sesampainya di Madinah turunlah ayat ini dan ketika Suhaib memasuki kota Madinah menemui Abu Bakar, maka berkata Abu Bakar: “ini merupakan jual beli yang menguntungkan ya Abu Yahya, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya yang telah terbunuh di Mekkah, dikarenakan Allah memberi petunjuk kepada mereka segala apa yang terjadi mendapat keridhaan-Nya”.
Merujuk pada penafsiran dan kronologis turunnya ayat di atas, untuk menggapai ridha dari Allah diperlukan sebuah pengorbanan baik jiwa maupun harta. Sebagaimana dialami Nabi bersama pengikutnya sebelum hijrah ke Madinah. Dalam hal ini sabar menuntut adanya niat yang ikhlas dan juga kesucian hati dari berbagai bujuk rayu yang menyimpang menuju keridhaan Allah.
Kedua syarat itu sangat penting artinya, karena apa saja yang dilakukan mesti memperhatikan dua hal di atas, bukan berdasarkan motivasi lain seperti riya’, sum’ah dan lain sebagainya. Jika sifat ini masih ada dalam diri seseorang, maka segala amal perbuatannya tidak dapat dikatakan sebagai amal saleh, dan akan ditolak oleh Allah. Orang yang benar-benar ta’at kepada Allah adalah mereka yang berusaha dengan maksimal untuk mencapai apa yang dicintai Allah dan rasul-Nya, walaupun dalam perjalanan menuju ridha Allah, ia harus rela menghadapi segala macam musibah dengan perasaan gembira, dikarenakan bala bencana yang menimpa dirinya dipandang sebagai bentuk perhatian Allah terhadapnya. Jika hal ini dilakukan maka seseorang akan mendapatkan keridhaan Allah.
Sikap ridha ini perlu dikembangkan, karena sikap ridha akan melahirkan suatu akhlak yang mulia yang dapat mempererat hubungan seorang hamba dengan khaliqnya. Orang yang ridha kepada Allah tidak akan pernah mengeluh ataupun merasa berat terhadap segala beban yang diembannya dikarenakan dia memiliki kekuatan sipirit religi dalam hidupnya. Jika ini tidak dipunyai dalam menjalani hidup ini, maka kita bersiap-siap mendapati Allah dengan murka-Nya.
Tawakkal
Tawakkal berarti menyerahkan, mempercayakan (Munawir, 2003: 1579). Menurut Syekh Nawawi, tawakkal adalah kepercayaan hati dengan menyerahkan segala urusan kepada Allah. (Nawawi, 1343: 13). Dalam hal ini tawakkal dapat dipahami sebagai penyerahan total seorang hamba kepada sang pencipta. Sebagaimana jijelaskan dalam QS al-Ahzab: 3. Ayat ini dipahami Nawawi (tt:177), sebagai anjuran menyerahkan segala urusan hanya kepada-Nya dan memelihara segala perkara yang diserahkan kepada-Nya.
Oleh karenanya dalam kehidupan sehari seorang muslim hendaknya menempuh 2 langkah, yaitu berdo’a dan berikhtiar, ikhtiar dilakukan dengan bekerja optimal, jujur dan penuh loyalitas, serta; bertawakkal, dalam arti jangan pernah menggantungkan harapan terhadap ikhtiar tetapi menggantungkan sepenuhnya kepada Allah. Apapun yang terjadi kemudian diserahkan kepada Allah dan menyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik buat kita.
Tafwidh
Tafwidh adalah pemberian kuasa penuh (Munawir, 2003: 1078), sedangkan menurut Nawawi tafwidh adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah. Isyarat tafwidh ini terdapat pada firman Allah QS al-Maidah ayat 105 yang dapahami Syekh Nawawi sebagai anjuran agar orang-orang beriman menjaga diri dari perbuatan maksiat dan dosa, tiadalah memberi mudharat orang yang sesat apabila kamu telah mendapat hidayah iman, kembalikan semua urusan hanya kepada Allah, Dia akan menerangkan kepadamu di akhirat kelak apa yang kamu lakukan semasa di dunia semua akan dibalas baik itu berupa kebaikan maupun kejahatan (Nawawi, tt: 225).
Ayat ini mengajarkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, hendaknya menjaga dirinya dari berbuat maksia, seraya mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan amal ibadah secara ikhlas, membebaskan diri dari dosa dan hukuman, kemudian segala urusan kita serahkan sepenuhnya kepada Allah, dan di akhirat kelak Allah akan membalas segala perbuatan yang dilakukan, perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan begitu pula sebaliknya kejahatan akan dibalas dengan kejahatan.
PENUTUP
Kesimpulan
Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas: Pertama, tasawuf merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang bertujuan untuk memperbaiki budipekerti dan membersihkan batin manusia dari berbagai keserakahan dunia; Kedua, Terjadinya dekadensi moral sekarang ini adalah hasil ketidakpedulian terhadap nilai-nilai ajaran agama, jika fenomena tersebut tidak ditanggulangi, maka dapat dipastikan berdampak pada lingkungan. Oleh karenanya nilai-nilai ajaran tasawuf perlu ditanamkan pada setiap individu-individu seperti: taubat, zuhud, sabar, ridha, tawakkal, serta tafwidh, agar tidak tenggelam ke jurang kemaksiatan dan dosa, dan melupakan tujuan hidup di akhirat kelak, padahal kehidupan akhirat itu jauh lebih baik dan kekal abadi.
Rekomendasi
Merupakan tanggung jawab kolektif bagi ummat muslim untuk menempatkan aspek-aspek ajaran tasawuf itu dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, sehingga dengan demikian akan memberikan warna yang religi pada kehidupan modern ini yang serba materialistik.
DAFTAR PUSTAKA
Arbery, A.J., Pasang Surut Aliran Tasawuf, Penterjemah Bambang Herawan, Bandung: Mizan, 1993
Al-Ghazali, Mukasyafat al-Qulub al-Muqarrab ila Hadhrat ‘Allam al-Ghuyub fi ‘Ilmi al-Tasawuf, Beirut: Dar el-Kutub el-Ilmiyah, 1996
Gulen, M Fethullah, Versi Terdalam Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Jabir, Abu Bakar, Minhaj al-Muslim, Beirut: Dar el-Fikr, tt.
Jaho, Muhammad Jamil, Tazkirah al-Qulub, Bukit Tinggi: Tsamratul Ikhwan, 1972
Jordac, George, Suara Keadilan, Sosok Agung Ali bin Abi Thalib, Jakarta: Lentera, 200o.
Ma’luf, Lois, Munjid al-Tullab, Beirut: Dar El-Masyriq, 1995
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren, Yogjakarta: LkiS, 2004
Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogjakarta: Pustaka Progressif, 2002
Nawawi. tt. Tanqih al-Qaul al-Hadits, Semarang: Thoha Putra, tt.
-----, Muraqil Ubudiyah, Surabaya: al-Mishriyah, tt.
-----, Nashaih al-‘Ibad, Surabaya, al-Mishriyah, tt.
-----, Syarh Kasyifat al-Saja, (Mustafa al-Babi al-Halabi, Kairo, 1343 H.
-----, Marah Labid Tafsir al-Nawawi juz 1, Semarang: Thoha Putra, tt.
-----. Marah Labid Tafsir al-Nawawi juz 2, Semarang: Thoha Putra, tt.
Rakhmat, Jalaluddin, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan, 1996
Sa’ad, Ibn, At-Tabaqat, Mekkah: Dar el-Ma’arif, tt.
Shabuni, Muhammad Ali, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar el-Iftikar, 1970
Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1980
Syukur, Amin, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Da al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiah, tt.
0 comments:
Post a Comment