Perempuan, Lingkungan dan Keadilan
Masalah serius yang sedang dihadapi dunia saat ini adalah krisis ekologis. Penderitaan krisis air bersih di ruang domestik adalah dampak paling nyata. Dan, yang paling merasakan derita ini adalah perempuan.
Perempuan memiliki relasi strategis dengan linkgungan. Boleh dikatakan, perempuan menempati peran kunci dalam agenda penyelamatan lingkungan. Dibanding laki-laki, perempuan lebih dekat dengan alam. Relasi perempuan-alam nyaris di setiap ruang geraknya. Sawah, pasar, dapur, sumur, dan seluruh isi rumah adalah ruang relasi peran perempuan dan alam.
Asumsi ini benar ketika membaca realitas perempuan dalam situasi double burden, ketika perempuan memegang beban berlipat. Dalam perannya inilah, perempuan selalu dipertemukan dengan problem lingkungan: krisi air, instalasi sampah, limbah rumah tangga dan banyak hal.
Eksploitasi Perempuan-Lingkungan
Dalam situasi ini, perempuan sebenarnya sedang berhadapan dengan dua masalah yang overlap, tumpang-tindih: pertama, bagaimana perempuan menyelesaikan beban persoalan domestik, sementara kedua, ia menanggung beban problem lingkungan dalam melaksanakan tugas domestiknya. Perempuan dalam situasi ini menghadapi double burden dan himpitan masalah ekologis sekaligus. Semacam mengalami “penindasan ganda”.
Perempuan dalam keterpaksaan posisinya menganggung double burden, adalah sedang mengalami praktik eksploitasi. Tenaga, pikiran dan waktu perempuan dimengerti sebagai “aset” untuk tugas-tugas berlipat yang harus ia tanggung. Dialog dalam ruang domestik tidak berlangsung partisipatif dan adil. Yang ada bukan berbagi peran, kerja sama, tetapi penimpaan beban, dan objeknya adalah perempuan.
Sama halnya dengan alam yang kian hari semakin mengalami ketakberdayaan imbas eksploitasi dan konsumsi. Penindasan alam menjanjikan problem ekologis, yang pada akhirnya akan mempertemukan diri dengan perempuan dalam serentetan problem
Sampai akhrinya seorang feminis Perancis, Francois d’Eaubonne dalam Le Feminisme Ou La Mort (1974) mengenalkan istilah ekofeminisme ke ruang publik. Asumsinya bahwa, ada hubungan antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam.
Pandangan awal ini semakin kuat setelah kehadiran Karen J Warren(1985), dengan beberapa pandangan yang lebih menjurus. Pertama, terjadi keterkaitan penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap lingkungan. Kedua, pemahaman tentang alam sangat penting untuk mendapatkan pemahaman opresi terhadap perempuan dan terhadap alam. Ketiga, teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi. Dan keempat, pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis.
Heroisme Ekologis
Perempuan terlibat secara aktif dalam pelik problem lingkungan. Pertama ketika penindasan terhadap lingkungan, berarti penindasan terhadap dirinya. Kedua, bagaimana memainkan peran feminis dalam mengatasi problem lingkungan yang suka atau tidak suka, melibatkan perempuan. Perempuan dinantikan heroismenya untuk lingkungan.
Lakon heroisme perempuan terhadap lingkungan adalah bagaimana perempuan memberikan kontribusi positif dalam serangkaian program aksi. Tentu, lakon ini tidak akan menyontoh gerakan “Chipko” dengan memeluk pohon-pohon seperti dilakukan perempuan-perempuan India.
Gerakan ekofeminisme ini juga tak selalu berkutat pada apa yang pernah digagas Wangari Maathai, feminis asal Kenya yang mendapatkan Nobel dalam bidang ekologi karena mempelopori gerakan penanaman pohon yang seluruh rangkaian kegiatannya dilakukan perempuan di Kenya.
Ekofeminisme hanya berkutat pada persoalan penyelamatan lingkungan yang bersifat ritual-seremonial, meskipun ini juga penting. Gerakan Chipko di India dan penghijauan ala Wangari di Kenya, adalah “starting point” yang menandai adanya “sense of future” keterlibatan perempuan dalam persoalan lingkungan. Chipko adalah inspirasi dan perlu diterjemahkan dalam aksi yang lebih kontekstual.
Program Aksi
Program aksi ekofeminisme tidak diarahkan pada gerakan-gerakan “mahal” seperti aksi menamam pohon. Ekofeminise dapat dimulai dengan tindakan-tindakan sederhana namun berdampak signifikan pada lingkungan, seperti instalasi sampah dan limbah yang cermat. Dengan ketelatenan mengelompokkan sampah organik dan anorganik, tidak membuang limbah ke sungai, merawat taman rumah atau apotik hidup, peran perempuan akan memiliki kontribusi nyata.
Selain itu, hasrat berhemat dalam pengelolaan konsumsi domestik juga menjadi win solution dan tindakan terdekat bagi perempuan untuk heroisme penyelamatan lingkungan. Problem krisis lingkungan di ruang domestik dapat diantisipasi dengan mengurangi konsumsi secara rasional.
Gerakan konkritnya adalah bagaimana perempuan berhemat dalam menggunakan energi elektronik, air, dan barang konsumsi rumah tangga lainnya. Gerakan kesadaran ini menjadi sumbangsih untuk meminimalkan problem lingkungan dan merencanakan masa depan keberlanjutan alam(sustainability).
Gerakan berhemat ini menjadi sebuah entitesa sekaligus revolusi halus melawan asumsi ekonomi masyarkat konsumsi. Revolusi ini membutuhkan pengorbanan secara personal dan relasional perempuan sebagai pengatur konsumsi domestik. Kearifan perempuan mengatur kebutuhan domestik-ekologisnya adalah penting.
Program aksi domestik ini menjadi solusi alternatif-aplikatif bagi mainstream gerakan feminisme dan ekologi sekaligus. Perempuan pada saat yang sama tengah berjuang untuk dua hal yang esensial: keadilan gender dan keadilan ekologis.
0 comments:
Post a Comment