Catatan dari Ciganjur
Gus Dur, Walisongo dan Arabisasi
Gus Dur, Walisongo dan Arabisasi
Islam adalah
ajaran normatif yang berasal dari Tuhan. Ia dapat diakomodasi ke dalam pelbagai
kebudayaan manusia tanpa harus menghilangkan identitasnya masing-masing. Agama
sebagai kepercayaan yang memuat norma kemasyarakatan tidak harus menolak budaya
setempat. Islam adalah ketentuan samawy, namun ia bukan mesti
mengalahkan nalar budaya ardly. Oleh karenanya para ulama Islam di
pelbagai belahan dunia non Arab, khususnya Asia Tenggara dan Indonesia
mengintegrasikan antara keislamam dengan kebudayaa-kebudayaan lokal. Di mana
kalangan ulama Nusantara telah mengadopsi sistem sosial, kesenian dan adat
istiadat Indonesia ke dalam prespektif Islam. Hal ini memungkinkan aneka ragam
kebudayaan Nusantara tetap lestari, meskipun Islam menyatukan wilayah ini dalam
identitas agama.
Dalam sejarah Islam Jawa tentunya tak seorang pun yang tidak mengenal nama besar Walisongo. Para wali yang konon semuanya adalah keturunan Arab ~mengecualikan sunan Kalijogo~ inilah yang berjasa menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Pada abad ke-15 Walisongo mengislamkan masyarakat Jawa dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal jawa dalam Islam khas keindonesiaan. Walisongo mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama dengan kebudayaan masyarakat setempat. Ja’far Shodiq misalnya, ia mendekati masyarakat Kudus dengan memenfaatkan simbol-simbol Budha-Hindu. Dari sisi fisik stategi ini dapat ditengarai dari arsitektur menara, gerbang, dan jumlah pancuran tempat wudlu yang melambangkan delapan jalan Budha. Dari psikis Sunan Kudus sangat menghormati sapi, binatang yang dituhankan oleh masyarakat Hindu. Tradisi menghormati sapi masih dapat kita jumpai hinga saat ini. umat Islam di Kudus menyembelih kerbau, bukanya sapi pada hari raya Idul Adha.
Begitu pula Raden Sahid sangat toleran pada budaya lokal. Sunan Kalijaga berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh bila pendiriannya diserang melalui purifikasi. Ia berkeyakinan jika Islam telah dipahami, dengan sendirinya keyakinan lama akan hilang. Pencipta tembang Ilir-ilir yang termasyur ini jugalah yang merupakan penggagas perayaan sekaten, grebeg maulud dan kalimasadha. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun, dengan dua beringin serta masjid ini diyakini pula sebagai karyanya. (Tashwirul Afkar. No.14, 2003)
Sebagai contoh adopsi budaya, ranggon masjid Demak diambil dari konsep ”meru” masa pra-Islam yang terdiri sembilan susun. Namun Sunan Kalijaga menjadikannya tiga susun saja, untuk melambangkan tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya orang baru beriman saja, kemudian ia melaksanakan Islam ketika menyadari pentingnya syariat. Barulah memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan mendalami tasawuf, hakikat dan ma’rifat. Ketika seseorang telah mencapai tingkat ihsan selubung formalitas disingkirkan, dan yang dikedepankan adalah kesalehan. Perbuatan saleh tidak mesti dibungkus dalam formalitas lembaga keagamaan.
Mengomentari manufer dakwah walisongo ini Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa antara Islam da paham pemikiran lain mengalami proses saling mengambil dan belajar. Dalam proses kompromi antara ajaran Islam dengan tradisi dan budaya, Islam tidak saja harus ”menjinakkan” sasarannya, tapi ia sendiripun harus bersikap ramah. Dengan demikian akan akan terjadi keragaman dalan Islam sebagai tuntutan ajarannya sendiri yang universal.
Hal ini bertolak belakang dengan purifikasi dan pembaharuan Islam yang dicanangkan Abdurrauf al-Singkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari pada abad ke-17. Islam kemudian semakin berkembang dibawah bendera purifikasi atau pemurnian ajaran Islam yang dipelopori oleh gerakan Wahabi. Gerakan nin sangat gencar melawan semua bentuk apresiasi terhadap adat istiadat dan tradisi lokal. Bahkan di tempat asalnya sendiri. di Mekkah mereka menghancurkan kubah-kubah Masjidil Haram. Di Madinah hampir saja terjadi pembongkaran makam Rasulullah, karena dianggap berbau bid’ah dan kemusrikan.
Keragaman Islam Nusantara semakin ketika kebangkitan Islam didengungkan. Meningkatnya intensifikasi persentuhan Indonesia dan Arab memungkkinkan pesona revolusi Iran, yang terjadi pada tahun 1978 menyebar ke mana-mana. Bahkan dijadikan tipe ideal gerakan Islam, yang mencita-citakan tegaknya kembali khilafah Islamiyah. Maka mulai saat itu aspirasi negara Islam muncul kembali.(Abdul Mun’im DZ, 2003)
Dewasa ini semangat pemurnian Islam telah berwujud gerakan massa yang merambah ranah praksis. Di antaranya adalah jaringan Ikhwanul Muslimin, Khizbut Tahrir Indonesia dan Majlis Mujahidin Indonesia. Mereka menghasilkam alternatif nyata wujud keberagamaa yang lain. keberagamaa Islam yang mereka sebut ”otentik”, Islami dan kaffah, yang seharusnya diberlakukan di seluruh dunia Islam. Sebuah fundalentalisme yang dianggap universal (shahih li kulli zaman wa makan; cocok untuk semua jaman dan keadaan).
Gagasan Islam pribumi yang dikembangkan sebagai jawaban dari Islam Otentik atau Islam Murni yang ternyata lebih mengarah kepada Arabisasi diusung oleh Abdurrahman Wahid dalam rangka menghindarkan tercerabutnya agama dari akar budaya. Menurut Gus Dur, proses Arabisasi atau mengidentifikasikan diri dengan Timur Tengah hanya mengakibatkan umat Islam Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri. bagaimanapun juga jelas berbahaya mengabaikan tradisi dalam proses agamisasi. Apalagi menempatkannya di seberang program agamisasi tersebut. Tradisi keyakinan keagamaan merupakan ruh bagi nalar individu dan masyarakat dalam memahami dinamika sosial dan proses pelebura agama, dalam tata hubungan sosial dan perilaku adat istiadat lokal.
Dengan pribumisasi Islam dapat dijamin adanya keragaman interpretasi dalam plikasi nilai-nilai keberagamaan di setiap wilayah yag berbeda. Kondisi ini memungkinkan Islam dipandang secara plural dan egaliter, bukan tunggal dan otoriter. Bagi Islam Pribumi, Islam bukanlah agama yang sekali jadi. Islam tidak lahir dari ruang lingkup dan lembaran kosong. Islam telah berafiliasi dalam fakta historis. Segala sesuatu, sekalipun Kitab Suci yang diyakini sebagai firman Tuhan yang abadi, karena telah membumi maka ia terkena kategori sebagai fakta historis.
Fakta historis ini dapat kita jumpai semenjak Islam masih berada di Mekah dan Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil perjumpaan wahyu dengan tradisi lokal Quraisy atau Arab paganis (jahiliyyah). Sedang Islam era Madinah adalah Islam yang telah bersinggungan dengan perbagai budaya dunia semacam Yahudi dan Nasrani. Dengan nalar historis bisa dimengerti jika karakter dan genre ayat Makkiyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyah.
Konsep Islamisasi Arab setidaknya menampakkan tiga pola, pertama Islam mengambil sebagian tradisi dan meninggalkan sebagian lainnya. Kedua, Islam mengambil dan meninggalkan tradisi Arab secara setengah-setengah dengan mengurangi atau menambahkan adat dan praktek pra-Islam. Ketiga, Islam meminjam norma-norma tersebut dalam bentuknya yang paling sempurna tanpa mancerna dan mengubah namanya. (Khalid Abdul Karim, 1990)
Karena sifatnya yang selalu berdialektikaa dengan relitas, maka tradisi keagamaan dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan kultural suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Islam yang baik adalah Islam yang memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat Indonesia. Menawarkan solusi atas problem-problem yang dihadapi dan menjawab tantangan-tantangan ke depan. Dalam pandangan Gus Dur sebagai penggagas pribumisasi Islam, Islam Pribumi sama sekali tidak berpretensi untuk mengangkat budaya-budaya lokal Arab, karena Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.
Dalam sejarah Islam Jawa tentunya tak seorang pun yang tidak mengenal nama besar Walisongo. Para wali yang konon semuanya adalah keturunan Arab ~mengecualikan sunan Kalijogo~ inilah yang berjasa menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Pada abad ke-15 Walisongo mengislamkan masyarakat Jawa dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal jawa dalam Islam khas keindonesiaan. Walisongo mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama dengan kebudayaan masyarakat setempat. Ja’far Shodiq misalnya, ia mendekati masyarakat Kudus dengan memenfaatkan simbol-simbol Budha-Hindu. Dari sisi fisik stategi ini dapat ditengarai dari arsitektur menara, gerbang, dan jumlah pancuran tempat wudlu yang melambangkan delapan jalan Budha. Dari psikis Sunan Kudus sangat menghormati sapi, binatang yang dituhankan oleh masyarakat Hindu. Tradisi menghormati sapi masih dapat kita jumpai hinga saat ini. umat Islam di Kudus menyembelih kerbau, bukanya sapi pada hari raya Idul Adha.
Begitu pula Raden Sahid sangat toleran pada budaya lokal. Sunan Kalijaga berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh bila pendiriannya diserang melalui purifikasi. Ia berkeyakinan jika Islam telah dipahami, dengan sendirinya keyakinan lama akan hilang. Pencipta tembang Ilir-ilir yang termasyur ini jugalah yang merupakan penggagas perayaan sekaten, grebeg maulud dan kalimasadha. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun, dengan dua beringin serta masjid ini diyakini pula sebagai karyanya. (Tashwirul Afkar. No.14, 2003)
Sebagai contoh adopsi budaya, ranggon masjid Demak diambil dari konsep ”meru” masa pra-Islam yang terdiri sembilan susun. Namun Sunan Kalijaga menjadikannya tiga susun saja, untuk melambangkan tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya orang baru beriman saja, kemudian ia melaksanakan Islam ketika menyadari pentingnya syariat. Barulah memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan mendalami tasawuf, hakikat dan ma’rifat. Ketika seseorang telah mencapai tingkat ihsan selubung formalitas disingkirkan, dan yang dikedepankan adalah kesalehan. Perbuatan saleh tidak mesti dibungkus dalam formalitas lembaga keagamaan.
Mengomentari manufer dakwah walisongo ini Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa antara Islam da paham pemikiran lain mengalami proses saling mengambil dan belajar. Dalam proses kompromi antara ajaran Islam dengan tradisi dan budaya, Islam tidak saja harus ”menjinakkan” sasarannya, tapi ia sendiripun harus bersikap ramah. Dengan demikian akan akan terjadi keragaman dalan Islam sebagai tuntutan ajarannya sendiri yang universal.
Hal ini bertolak belakang dengan purifikasi dan pembaharuan Islam yang dicanangkan Abdurrauf al-Singkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari pada abad ke-17. Islam kemudian semakin berkembang dibawah bendera purifikasi atau pemurnian ajaran Islam yang dipelopori oleh gerakan Wahabi. Gerakan nin sangat gencar melawan semua bentuk apresiasi terhadap adat istiadat dan tradisi lokal. Bahkan di tempat asalnya sendiri. di Mekkah mereka menghancurkan kubah-kubah Masjidil Haram. Di Madinah hampir saja terjadi pembongkaran makam Rasulullah, karena dianggap berbau bid’ah dan kemusrikan.
Keragaman Islam Nusantara semakin ketika kebangkitan Islam didengungkan. Meningkatnya intensifikasi persentuhan Indonesia dan Arab memungkkinkan pesona revolusi Iran, yang terjadi pada tahun 1978 menyebar ke mana-mana. Bahkan dijadikan tipe ideal gerakan Islam, yang mencita-citakan tegaknya kembali khilafah Islamiyah. Maka mulai saat itu aspirasi negara Islam muncul kembali.(Abdul Mun’im DZ, 2003)
Dewasa ini semangat pemurnian Islam telah berwujud gerakan massa yang merambah ranah praksis. Di antaranya adalah jaringan Ikhwanul Muslimin, Khizbut Tahrir Indonesia dan Majlis Mujahidin Indonesia. Mereka menghasilkam alternatif nyata wujud keberagamaa yang lain. keberagamaa Islam yang mereka sebut ”otentik”, Islami dan kaffah, yang seharusnya diberlakukan di seluruh dunia Islam. Sebuah fundalentalisme yang dianggap universal (shahih li kulli zaman wa makan; cocok untuk semua jaman dan keadaan).
Gagasan Islam pribumi yang dikembangkan sebagai jawaban dari Islam Otentik atau Islam Murni yang ternyata lebih mengarah kepada Arabisasi diusung oleh Abdurrahman Wahid dalam rangka menghindarkan tercerabutnya agama dari akar budaya. Menurut Gus Dur, proses Arabisasi atau mengidentifikasikan diri dengan Timur Tengah hanya mengakibatkan umat Islam Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri. bagaimanapun juga jelas berbahaya mengabaikan tradisi dalam proses agamisasi. Apalagi menempatkannya di seberang program agamisasi tersebut. Tradisi keyakinan keagamaan merupakan ruh bagi nalar individu dan masyarakat dalam memahami dinamika sosial dan proses pelebura agama, dalam tata hubungan sosial dan perilaku adat istiadat lokal.
Dengan pribumisasi Islam dapat dijamin adanya keragaman interpretasi dalam plikasi nilai-nilai keberagamaan di setiap wilayah yag berbeda. Kondisi ini memungkinkan Islam dipandang secara plural dan egaliter, bukan tunggal dan otoriter. Bagi Islam Pribumi, Islam bukanlah agama yang sekali jadi. Islam tidak lahir dari ruang lingkup dan lembaran kosong. Islam telah berafiliasi dalam fakta historis. Segala sesuatu, sekalipun Kitab Suci yang diyakini sebagai firman Tuhan yang abadi, karena telah membumi maka ia terkena kategori sebagai fakta historis.
Fakta historis ini dapat kita jumpai semenjak Islam masih berada di Mekah dan Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil perjumpaan wahyu dengan tradisi lokal Quraisy atau Arab paganis (jahiliyyah). Sedang Islam era Madinah adalah Islam yang telah bersinggungan dengan perbagai budaya dunia semacam Yahudi dan Nasrani. Dengan nalar historis bisa dimengerti jika karakter dan genre ayat Makkiyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyah.
Konsep Islamisasi Arab setidaknya menampakkan tiga pola, pertama Islam mengambil sebagian tradisi dan meninggalkan sebagian lainnya. Kedua, Islam mengambil dan meninggalkan tradisi Arab secara setengah-setengah dengan mengurangi atau menambahkan adat dan praktek pra-Islam. Ketiga, Islam meminjam norma-norma tersebut dalam bentuknya yang paling sempurna tanpa mancerna dan mengubah namanya. (Khalid Abdul Karim, 1990)
Karena sifatnya yang selalu berdialektikaa dengan relitas, maka tradisi keagamaan dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan kultural suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Islam yang baik adalah Islam yang memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat Indonesia. Menawarkan solusi atas problem-problem yang dihadapi dan menjawab tantangan-tantangan ke depan. Dalam pandangan Gus Dur sebagai penggagas pribumisasi Islam, Islam Pribumi sama sekali tidak berpretensi untuk mengangkat budaya-budaya lokal Arab, karena Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.
Gus Dur Kecam Pembunuhan Syekh Ahmed
Yassin
Ketua Dewan Syuro
DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Abdurrahman Wahid di Jombang, Jatim,
Rabu mengecam keras pembunuhan yang dilakukan oleh kaum zionis Isreal terhadap
pemimpin Hamas Syekh Ahmed Yassin.
Menurut Gus Dur, pembunuhan itu
berarti Isreal sudah melakukan kekerasan atau sudah meninggalkan hukum dan
etika hubungan internasional. Sehingga akibat adanya peristiwa itu, proses
perdamaian di Timur Tengah sulit terealisasi.
Gus Dur mengemukakan hal itu saat
wawancara di sela-sela kampanye PKB di lapangan Desa Tebel, Kecamatan Bareng,
Jombang.
Gus Dur Klarifikasi Isu
Pembabtisan Dirinya
Ketua Dewan Syuro
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menglarifikasi
isu tentang pembabtisan atas dirinya yang direkam dan disebarluaskan melalui video
compac disk (VCD) oleh oknum tak bertanggungjawab.
Mantan Presiden RI ke empat itu
menglarifikasi pembabtisan dirinya saat kampanye PKB yang dihadiri ribuan kader
dan simpatisan partai tersebut, di GOR Kota Baru Jambi, Rabu (31/03).
"Itu tidak benar, dusta,
bohong, dan fitnah yang sengaja dimunculkan orang atau kelompok yang takut
kalah dengan PKB pada Pemilu 2004," katanya.
Ia mengakui bahwa munculnya
pembabtisan dirinya dalam VCD itu, karena beberapa waktu lalu ia menghadiri
undangan/pertemuan para pendeta gereja betel di Gelora Bung Karno, Senayan
Jakarta.
"Telah kita cari siapa dalang
dibalik itu," katanya lagi.
Menurut dia pula, kekhawatiran
orang terhadap PKB akan menang dalam Pemilu, berbagai cara dilakukan untuk
mendiskreditkan partai tersebut.
"Orang banyak ketakutan bila
PKB menang, karena setiap berkampanye di Jakarta dan daerah, puluhan ribu kader
dan massa menghadirinya, tanpa ada imbalan uang atau kaos," katanya.
Namun, kehadiran puluhan ribu
massa kampanye PKB itu, justru sedikit di ekspos oleh media.
"Tidak jadi masalah media
tidak mengeksposnya, karena kita (PKB) juga tak perlu media," kata Gus Dur
dengan gaya bicaranya yang lugas dan ceplas-ceplos itu.
Padahal, kata Gus Dur lebih
lanjut, persoalan PKB menang atau tidak bukan menjadi ukuran, karena yang jelas
PKB sebagai partai terbuka dan bukan partai Islam selalu dirindukan banyak
orang seperti di Papua, Bengkulu, dan Tapanuli.
Perjuangkan demokrasi
Pada sisi orasi politiknya, Gus
Dur juga menyatakan bila PKB menang pada Pemilu 2004, yang utama diperjuangkan
adalah soal demokrasi Indonesia yang sampai saat ini tidak berjalan.
Demkorasi itu, akan mencakup
beberapa bidang seperti kedaulatan hukum, yang artinya siapa yang melanggar
hukum akan mendapat akibatnya, serta hukum itu sendiri memperlakukan sama semua
orang tanpa pandang bulu itu pejabat, pengusaha, dan rakyat kecil.
"Sekarang ini yang punya uang
tidak tersentuh hukum, namun bila ada orang kecil di desa atau kampung yang
nyolong ayam justru dipenjarakan, itu namanya tak adil dalam penegakkan
hukum," katanya menjelaskan.
Kemudian soal terorisme harus
diberantas habis yang saat ini gagal dilakukan pemerintah Indonesia.
"Kegagalan Indonesia
memberantas habis terorisme itu, karena kepemimpinan yang tak jelas siapa yang
dipimpinya," katanya lagi.
Lalu soal pembayaran utang luar
negeri, PKB bertekad jika menang pada Pemilu dan berhasil memimpin bangsa Indonesia,
akan meminta lembaga keuangan/moneter internasional (IMF) memberi kelonggaran
waktu lima tahun untuk mencicil utang.
"Lima tahun saja kita bisa
mencicil lunas utang luar negeri itu, caranya mudah Indonesia untuk selama itu
tak perlu melakukan pembelian barang dan kebutuhan dari luar negeri, cukup
dengan barter barang saja dengan luar negeri," demikian Gus Dur.
Gus Dur vs ”Penyakit Nalar Arab”
Mantan Ketua Umum
PB Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdurahman Wahid atau sering dipanggil Gus Dur,
meminta pers jangan buru-buru mengambil kesimpulan tentang sowan sejumlah kyai
pengasuh Pondok Pesantren di Jawa Timur ke Cendana, karena mereka hanyalah kyai
kacangan.
"Siapa sih wong itu kyai
kacangan kok, nggak punya pengikut, pusing-pusing amat, orang mau silaturahmi
silakan saja," kata Gus Dur kepada Pers seusai berbicara dalam Konferensi
Internasional Cendekiawan Islam (International Conference of Islamic Scholars)
di Jakarta, Selasa.
Gus Dur mengatakan, silaturahmi
hanya merupakan bentuk hubungan antar sesama manusia yang kalau dirinya
diundang pun, maka juga akan datang.
"Saya kalau diundang ya
datang kok, kemarin saya di Kraton Solo dengan Wiranto dan Akbar Tandjung nggak
apa-apa itu hubungan biasa sebagai manusia," katanya.
Tetapi, lanjut dia, dirinya tetap
mempunyai pendirian dan tak akanterpengaruh siapapun.
"Jadi begitu juga kyai-kyai
itu, jangan-jangan mereka ke Pak Harto tetapi nggak menyebut pemilihan umum dan
lainnya, jadi jangan buru-buru mengambil kesimpulan ," katanya.
Para kyai yang "sowan"
ke Cendana untuk menemui mantan Presiden Soeharto itu antara lain KH Fawaid
As`ad, (Ponpes Asem Bagus), Gus Huda (Ponpes Cangak II Pasuruan) dan KH Hafid
(Ponpes Abdulqadir Jailani, Probolinggo).
Sementara itu, soal pendapat Ketua
PB NU Sholahuddin Wahid yang juga adik Gus Dur yang menyatakan bahwa pihaknya
tak akan mencalonkan Megawati sebagai Presiden mendatang karena telah gagal
memimpin bangsa keluar dari krisis dan prestasi buruk untuk keluar dari krisis,
Gus Dur mengatakan itu adalah pendapat Gus Shollah sendiri.
"Kalau dia berpendapat
seperti itu tentang Megawati itu kan pendapat dia, kan kalau orang lain banyak
mengikuti dia kan bukan salah dia," katanya.
Sedangkan tentang pendapatnya
sendiri, ia justru bertanya mengapa harus ia nyatakan.
"Kalau pendapat saya kenapa
harus saya nyatakan pendapat saya, apakah di sana tadi korupsi atau tidak saya
ngga boleh bicara karena saya akan mempengaruhi pendapat publik, ini soal
politik, penilaian terhadap pemerintahan Megawati," katanya.
NU dan Calon Presiden 2004
Nahdlatul Ulama, sebagaimana
Muhammadiyah, bukan organisasi politik. Meski demikian, kedua organisasi massa
ini senantiasa diperhitungkan dalam setiap momen politik penting. Menjelang
pemilihan presiden dalam Pemilu 2004, kedua organisasi ini sibuk mengatur
strategi guna mengambil peran dalam pemilu mendatang.
Muhammadiyah, misalnya, meski mendapat kritik dari kader-kader muda yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), telah mengeluarkan pernyataan dukungan kepada Amien Rais sebagai calon presiden. Dengan pernyataan itu, Muhammadiyah bukan saja telah mengubah "politik garam" (high politics) menjadi "politik gincu" (low politics), tetapi juga telah menarik pusaran politik yang membuka peluang ketegangan dengan kelompok Islam lain, terutama Nahdlatul Ulama (NU). Secara tidak disadari, dukungan itu menghidupkan kembali rivalitas politik kelompok "modernis" dan "tradisionalis" yang beberapa waktu sudah mencair.
Berbeda dengan Muhammadiyah, NU justru tidak pernah jelas mendukung siapa untuk menjadi presiden. Kelompok-kelompok NU seperti "bola liar" yang bisa dipermainkan oleh kepentingan politik lain. Kantong-kantong NU sangat rentan dan mudah diombang-ambingkan oleh permainan politik. Mereka juga mudah dimobilisasi untuk mendukung atau menolak sebuah manuver politik.
Menjelang pemilu dan pemilihan presiden 2004, kelompok-kelompok NU "bermain" sendiri-sendiri tanpa ada "dirigen" yang mengatur irama. Akibatnya, suara-suara sumbang tak beraturan muncul di sana-sini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, bermain mata dengan Megawati Soekarnoputri, sekelompok kiai NU berkunjung ke Cendana tanpa tujuan jelas, kelompok kiai yang lain begitu intim dengan Hamzah Haz. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi "sayap resmi" politik NU kian renggang dengan eksponen PBNU.
Jika pada Pemilu 1999 PBNU secara powerfull mendukung PKB, kini kemesraan itu tinggal kenangan. Konsep kembali ke Khitah 1926 menjadi alasan kuat PBNU untuk tidak mengeluarkan taushiyah mendukung PKB dalam Pemilu 2004. Bahkan, PBNU mengingatkan PWNU Jawa Timur yang mengeluarkan taushiyah agar warga NU dalam Pemilu 2004 mempertimbangkan hubungan historis dengan partai yang "lahirnya difasilitasi NU" (Tempo, 23-29/2/2004).
PKB gesit membalas. Dalam rapat kerja nasional beberapa waktu lalu, PKB mencoret nama Hasyim Muzadi (dan Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai calon presiden (capres) yang sebelumnya disimpan dalam brankas, dan mengukuhkan KH Abdurrahman Wahid sebagai satu-satunya capres PKB (Kompas, 24/2/2004). Itu berarti, Hasyim Muzadi sudah kehilangan dukungan dalam lingkaran politik PKB. Dengan keputusan itu, lengkaplah "perceraian" Hasyim Muzadi dengan PKB.
Dengan konstelasi itu, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana peluang kekuatan politik NU dalam pertarungan pemilihan presiden mendatang? Sampai di sini harus ditegaskan, saya tidak hendak mendorong PBNU mengeluarkan taushiyah untuk mendukung parpol atau capres tertentu. Concern utama tulisan ini adalah bagaimana mengurangi tarikan politik dalam tubuh NU agar NU benar- benar menjadi kekuatan civil society yang kokoh dan tak mudah dipermainkan berbagai kepentingan. Tentu saja ini tidak mudah karena dalam tubuh NU telah mengalir "darah politik" yang sedemikian kuat.
Darah politik inilah yang senantiasa mewarnai sejarah perjuangan NU. Dalam rentang panjang, tujuan politik NU senantiasa berkisar pada tiga hal. Pertama, menyalurkan dana pemerintah ke warga NU, terutama untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan keagamaan.
Kedua, berusaha mendapat peluang bisnis dari pemerintah bagi NU dan pendukungnya. Ketiga, mendapat kedudukan bagi warga NU dalam birokrasi (Greg Fealy: 2003). Tarik-menarik kepentingan politik di lingkungan NU hingga kini tidak bergeser dari tiga tujuan itu.
KETIKA mengadakan pertemuan dengan Megawati (sebagai presiden atau Ketua Umum PDI-P) di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, beberapa waktu lalu, Hasyim Muzadi mengemukakan, ada tiga kesepakatan antara keduanya. Pertama, sepakat pemilihan umum harus diselenggarakan dengan sukses. Bila tidak, akan timbul akibat lebih berat. Kedua, sepakat NU dan PDI-P mempunyai masyarakat yang sama, yaitu masyarakat kecil, lemah, belum terdidik, dan sumber daya yang amat lemah. Karena itu, harus ada program yang benar-benar menyentuh rakyat kecil. Ketiga, sepakat NU bukan organisasi yang akan membicarakan satu per satu parpol, tetapi melihat kepentingan masyarakat secara utuh berdasarkan wawasan keagamaan yang disatukan wawasan kebangsaan (Kompas, 15/2/2004).
Sama sekali tidak ada yang salah dengan kesepakatan itu, bahkan demikianlah seharusnya peran NU. Namun, bukan di situ problemnya. Tentu saja publik bertanya, apakah kesepakatan kedua pihak hanya sampai di situ? Sulit dielakkan bila pertemuan itu tidak mempunyai muatan politik apa pun. Pertemuan itu diduga banyak kalangan sebagai penjajakan perihal kemungkinan paket politik capres dan calon wakil presiden (wapres). Apalagi Hasyim Muzadi melemparkan gagasan koalisi kekuatan "nasionalis" dan "religius". Hal itu kian kuat sebagai indikasi bahwa Hasyim Muzadi mulai bermain mata dengan barisan PDI-P.
Jika hal terakhir ini benar, di sinilah letak masalahnya. Menurut saya, Hasyim Muzadi sudah benar saat sekuat tenaga berusaha untuk menjaga netralitasnya dari pengaruh semua parpol. Sesuai semangat Khitah 1926, NU membebaskan warganya untuk memilih parpol mana pun, dan NU secara institusional berdiri di atas semua kekuatan parpol. PKB tentu kurang happy karena parpol ini yang paling dirugikan dengan sikap itu. Sayang, momentum kerenggangan PBNU dengan PKB dimanfaatkan Hasyim Muzadi untuk merapat ke dalam barisan PDI-P. Sikap ini memicu kemarahan sebagian warga NU, bahkan KH Solahuddin Wahid, Ketua PBNU, memberi warning kepada ketua umumnya.
Pernyataan Akbar Tandjung yang siap menjadi wakil presidennya Megawati jika dia memenangi konvensi Golkar tidak bisa dilepaskan dari kemesraan Megawati dan Hasyim Muzadi. Tandjung mencoba melemparkan "godaan politik" kepada Megawati untuk menguji sejauh mana kesungguhannya melamar Ketua Umum PBNU itu. Suara Golkar tentu lebih menjanjikan daripada NU, yang bukan saja terpecah dalam berbagai parpol, tetapi juga harus "beradu otot" dengan Gus Dur yang juga menjadi capres dengan dukungan mayoritas warga NU. Jika Megawati terpancing dengan godaan Tandjung dan menjadi paket capres dan calon wapres, maka Hasyim Muzadi akan berada dalam posisi sulit.
Hasyim Muzadi akan lebih terhormat bila dia tetap konsisten dengan garis perjuangan khitah NU, dan tidak tergoda dengan rayuan politik. Kalau, misalnya, mempunyai ambisi politik untuk menjadi calon wakil presiden, akan lebih elok bila dinyatakan terus terang dan mundur dari Ketua Umum PBNU agar tidak terjadi bias kepentingan dengan warga NU. Warga NU pasti akan senang bila para elitenya tidak tercerai berai, apalagi saling menjatuhkan satu dengan yang lain.
Rumadi, Staf Peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM), Mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Muhammadiyah, misalnya, meski mendapat kritik dari kader-kader muda yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), telah mengeluarkan pernyataan dukungan kepada Amien Rais sebagai calon presiden. Dengan pernyataan itu, Muhammadiyah bukan saja telah mengubah "politik garam" (high politics) menjadi "politik gincu" (low politics), tetapi juga telah menarik pusaran politik yang membuka peluang ketegangan dengan kelompok Islam lain, terutama Nahdlatul Ulama (NU). Secara tidak disadari, dukungan itu menghidupkan kembali rivalitas politik kelompok "modernis" dan "tradisionalis" yang beberapa waktu sudah mencair.
Berbeda dengan Muhammadiyah, NU justru tidak pernah jelas mendukung siapa untuk menjadi presiden. Kelompok-kelompok NU seperti "bola liar" yang bisa dipermainkan oleh kepentingan politik lain. Kantong-kantong NU sangat rentan dan mudah diombang-ambingkan oleh permainan politik. Mereka juga mudah dimobilisasi untuk mendukung atau menolak sebuah manuver politik.
Menjelang pemilu dan pemilihan presiden 2004, kelompok-kelompok NU "bermain" sendiri-sendiri tanpa ada "dirigen" yang mengatur irama. Akibatnya, suara-suara sumbang tak beraturan muncul di sana-sini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, bermain mata dengan Megawati Soekarnoputri, sekelompok kiai NU berkunjung ke Cendana tanpa tujuan jelas, kelompok kiai yang lain begitu intim dengan Hamzah Haz. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi "sayap resmi" politik NU kian renggang dengan eksponen PBNU.
Jika pada Pemilu 1999 PBNU secara powerfull mendukung PKB, kini kemesraan itu tinggal kenangan. Konsep kembali ke Khitah 1926 menjadi alasan kuat PBNU untuk tidak mengeluarkan taushiyah mendukung PKB dalam Pemilu 2004. Bahkan, PBNU mengingatkan PWNU Jawa Timur yang mengeluarkan taushiyah agar warga NU dalam Pemilu 2004 mempertimbangkan hubungan historis dengan partai yang "lahirnya difasilitasi NU" (Tempo, 23-29/2/2004).
PKB gesit membalas. Dalam rapat kerja nasional beberapa waktu lalu, PKB mencoret nama Hasyim Muzadi (dan Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai calon presiden (capres) yang sebelumnya disimpan dalam brankas, dan mengukuhkan KH Abdurrahman Wahid sebagai satu-satunya capres PKB (Kompas, 24/2/2004). Itu berarti, Hasyim Muzadi sudah kehilangan dukungan dalam lingkaran politik PKB. Dengan keputusan itu, lengkaplah "perceraian" Hasyim Muzadi dengan PKB.
Dengan konstelasi itu, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana peluang kekuatan politik NU dalam pertarungan pemilihan presiden mendatang? Sampai di sini harus ditegaskan, saya tidak hendak mendorong PBNU mengeluarkan taushiyah untuk mendukung parpol atau capres tertentu. Concern utama tulisan ini adalah bagaimana mengurangi tarikan politik dalam tubuh NU agar NU benar- benar menjadi kekuatan civil society yang kokoh dan tak mudah dipermainkan berbagai kepentingan. Tentu saja ini tidak mudah karena dalam tubuh NU telah mengalir "darah politik" yang sedemikian kuat.
Darah politik inilah yang senantiasa mewarnai sejarah perjuangan NU. Dalam rentang panjang, tujuan politik NU senantiasa berkisar pada tiga hal. Pertama, menyalurkan dana pemerintah ke warga NU, terutama untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan keagamaan.
Kedua, berusaha mendapat peluang bisnis dari pemerintah bagi NU dan pendukungnya. Ketiga, mendapat kedudukan bagi warga NU dalam birokrasi (Greg Fealy: 2003). Tarik-menarik kepentingan politik di lingkungan NU hingga kini tidak bergeser dari tiga tujuan itu.
KETIKA mengadakan pertemuan dengan Megawati (sebagai presiden atau Ketua Umum PDI-P) di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, beberapa waktu lalu, Hasyim Muzadi mengemukakan, ada tiga kesepakatan antara keduanya. Pertama, sepakat pemilihan umum harus diselenggarakan dengan sukses. Bila tidak, akan timbul akibat lebih berat. Kedua, sepakat NU dan PDI-P mempunyai masyarakat yang sama, yaitu masyarakat kecil, lemah, belum terdidik, dan sumber daya yang amat lemah. Karena itu, harus ada program yang benar-benar menyentuh rakyat kecil. Ketiga, sepakat NU bukan organisasi yang akan membicarakan satu per satu parpol, tetapi melihat kepentingan masyarakat secara utuh berdasarkan wawasan keagamaan yang disatukan wawasan kebangsaan (Kompas, 15/2/2004).
Sama sekali tidak ada yang salah dengan kesepakatan itu, bahkan demikianlah seharusnya peran NU. Namun, bukan di situ problemnya. Tentu saja publik bertanya, apakah kesepakatan kedua pihak hanya sampai di situ? Sulit dielakkan bila pertemuan itu tidak mempunyai muatan politik apa pun. Pertemuan itu diduga banyak kalangan sebagai penjajakan perihal kemungkinan paket politik capres dan calon wakil presiden (wapres). Apalagi Hasyim Muzadi melemparkan gagasan koalisi kekuatan "nasionalis" dan "religius". Hal itu kian kuat sebagai indikasi bahwa Hasyim Muzadi mulai bermain mata dengan barisan PDI-P.
Jika hal terakhir ini benar, di sinilah letak masalahnya. Menurut saya, Hasyim Muzadi sudah benar saat sekuat tenaga berusaha untuk menjaga netralitasnya dari pengaruh semua parpol. Sesuai semangat Khitah 1926, NU membebaskan warganya untuk memilih parpol mana pun, dan NU secara institusional berdiri di atas semua kekuatan parpol. PKB tentu kurang happy karena parpol ini yang paling dirugikan dengan sikap itu. Sayang, momentum kerenggangan PBNU dengan PKB dimanfaatkan Hasyim Muzadi untuk merapat ke dalam barisan PDI-P. Sikap ini memicu kemarahan sebagian warga NU, bahkan KH Solahuddin Wahid, Ketua PBNU, memberi warning kepada ketua umumnya.
Pernyataan Akbar Tandjung yang siap menjadi wakil presidennya Megawati jika dia memenangi konvensi Golkar tidak bisa dilepaskan dari kemesraan Megawati dan Hasyim Muzadi. Tandjung mencoba melemparkan "godaan politik" kepada Megawati untuk menguji sejauh mana kesungguhannya melamar Ketua Umum PBNU itu. Suara Golkar tentu lebih menjanjikan daripada NU, yang bukan saja terpecah dalam berbagai parpol, tetapi juga harus "beradu otot" dengan Gus Dur yang juga menjadi capres dengan dukungan mayoritas warga NU. Jika Megawati terpancing dengan godaan Tandjung dan menjadi paket capres dan calon wapres, maka Hasyim Muzadi akan berada dalam posisi sulit.
Hasyim Muzadi akan lebih terhormat bila dia tetap konsisten dengan garis perjuangan khitah NU, dan tidak tergoda dengan rayuan politik. Kalau, misalnya, mempunyai ambisi politik untuk menjadi calon wakil presiden, akan lebih elok bila dinyatakan terus terang dan mundur dari Ketua Umum PBNU agar tidak terjadi bias kepentingan dengan warga NU. Warga NU pasti akan senang bila para elitenya tidak tercerai berai, apalagi saling menjatuhkan satu dengan yang lain.
Rumadi, Staf Peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM), Mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
PKB Kembali Tegaskan Gandengkan Gus
Dur dengan SBY
Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) kembali menegaskan akan menggandengkan mantan Menkopolkam, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dengan KH Abdurahman Wachid atau Gus Dur untuk memimpin
negara pada Pemilu 2004.
Pernyataan itu disampaikan Ketua
Lembaga Pemenangan Pemilu DPP PKB Dra Hj Chofifah Indar Parawansa yang juga
Ketua Umum PP Muslimat NU saat menghadiri kampanye PKB di Bojonegoro, Jatim,
Kamis (18/03).
"Terlalu egois jika
menyelesaikan masalah bangsa dikerjakan sendirian, jadi perlu koalisi
strategis. Gus Dur sendiri sudah memberikan sinyal pada Susilo Bambang Yudoyono
(SBY)," katanya.
Menurut dia, SBY merupakan sosok
politisi yang tidak memiliki track record jelek. Karena itu, SBY dinilai
dapat mendampingi Gus Dur untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
"Sebab untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, diperlukan orang-orang atau politisi yang bersih
pula. Dengan demikian, jika presiden dan wakilnya dipegang oleh orang-orang
yang benar anti korupsi dan juga tidak cacat sebagai politisi busuk, Insya
Allah akan membawa kemajuan bagi negara," katanya.
Ketika ditanya apakah pertimbangan
menggandeng SBY itu sekedar memanfaatkan peseteruan antara SBY dengan Megawati
sebagai presiden untuk kepentingan mengumpulkan suara, Chofifah mengelak.
"Bukan itu yang menjadi
pertimbangannya, Gus Dur menggandeng SBY itu lebih didasarkan pada kepribadian
beliau. Jadi sangat kecil kalau hanya menghitung-hitung dan memanfatkan
perseteruan antara SBY dengan Megawati," ujarnya.
Sementara ketika disinggung
munculnya kembali orde baru, Chofifah mengatakan, itu sangat mungkin, apalagi
jika terjadi koalisi PDIP dengan Partai Golkar dalam pesta pemilu 2004, maka
akan menghidupkan kembali orde baru yang berarti reformasi akan terkubur.
"Kalau PDIP koalisi dengan
Golkar, orba akan hidup kembali dan itu berarti reformasi wassalam
(terkubur)," katanya.
Sebab, lanjutnya, selama ini visi
reformasi dari PDIP tidak diperlihatkan dan visi Golkar sendiri dengan
paradigma barunya juga belum kita lihat. Justru dalam kasus bebasnya Akbar
Tanjung dari jeratan hukum, menunjukkan intervensi kekuasaan terhadap hukum
masih tinggi
Tarik Ulur Pencalonan Gus Dur
Sejarah
berulang di kediaman KH Abdullah Abbas, kompleks Pesantren Buntet, Cirebon.
Lima tahun lalu, KH Abdurrahman Wahid, yang datang ke pesantren itu bersama
"lokomotif reformasi" Prof. Amien Rais, ditahbiskan sebagai calon
presiden atas restu kiai khos ini. Selasa lalu, 30-an kiai terkemuka sepakat
pula mengukuhkan lagi Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden dalam Pemilu
2004.
"Lima tahun lalu, setelah pertemuan di rumah yang penuh barokah ini, Gus Dur terpilih sebagai presiden," kata KH Ibnu Ubaidillah, pemimpin sidang para ulama itu. "Setelah pertemuan lagi ini, kami berdoa semoga Gus Dur terpilih kembali," begitu pengasuh Pesantren Arjawinangun, Cirebon, ini menambahkan. Acara itu sendiri bertajuk "Musyawarah Ulama Khos se-Indonesia".
Tampak hadir kiai dari jajaran Mustasyar (penasihat) dan Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dari unsur Mustasyar, selain KH Abdullah Abbas, tampak KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), Tuan Guru H. Turmudzi Badruddin (Lombok), KH Sanusi Baco (Makassar), dan KH Syekh Muchtar Muda Nasution (Medan). Gus Dur sendiri baru tiba setelah makan siang.
Kalangan Syuriyah diwakili oleh KH Fachruddin Masturo (Sukabumi) dan KH Fuad Hasyim (Buntet). Ada pula kiai yang aktif di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Namun mereka hadir dalam kapasitas pribadi," kata Ibnu Ubaidillah, yang Ketua Dewan Syuro PKB Jawa Barat itu.
Pertemuan itu menghasilkan tiga kesimpulan. Salah satunya, penahbisan Gus Dur itu. Namun butir ini diberi klausul tambahan, "Pada saat Gus Dur berhalangan atau terganjal persyaratan calon presiden, maka Gus Dur sebaiknya menunjuk penggantinya."
Para kiai ini akan kembali bermusyawarah setelah pemilu legislatif nanti, untuk memastikan siapa sang calon pengganti itu bila diperlukan. Ibnu sempat mengusulkan agar nama pengganti diputuskan sekalian. "Saya sudah menyiapkan kertas suara untuk voting," katanya. Namun niat itu urung dilaksanakan setelah melewati debat alot.
Ibnu mengakui, klausul pengganti itu bisa mengakomodasi "aspirasi lain" di lingkungan NU. Maklumlah, Selasa pekan lalu, Gerakan Pemuda Ansor mengajukan kriteria, calon presiden yang diidamkan adalah yang belum pernah menjabat presiden. Maksudnya, tentu bukan Gus Dur. "Kami sudah lama menyuarakan kriteria itu," kata Maskud Chandranegara, Wakil Sekretaris Jenderal Pemuda Ansor. Namun sinyalemen ini ditepis oleh Zuhdi Muhdlor, Pelaksana Harian Ketua Umum Ansor. "Itu hanya wacana, pada akhirnya Ansor akan ikut PBNU," kata Zuhdi.
Sebelumnya, sempat muncul "Kaukus Seribu Kiai" yang bertemu di Batu Ceper, Tangerang, Oktober 2003. Mereka mempertanyakan kepemimpinan Gus Dur. Yang lebih genting bergulir menjelang Musyawarah Kerja Nasional PKB, Mei 2003. Para tokoh Pengurus Wilayah NU berkumpul di Hotel Sahid Jaya dan meminta PKB mempertimbangkan Hasyim Muzadi sebagai calon presiden.
Sejak itu, hubungan Gus Dur-Hasyim meregang. Namun pertemuan Buntet mengubah situasi di tubuh NU. Sikap Gus Dur melunak. "Beliau cuma menegaskan, polemiknya dengan Pak Hasyim harus diakhiri," kata Ibnu. Gus Dur sendiri menyatakan hal serupa. "Saya menganggap Pak Hasyim tokoh NU yang harus dihormati, tidak ada masalah. Lagi pula, Pak Hasyim ngomong di beberapa tempat ia tak mau dicalonkan," kata Gus Dur.
Toh, Ahmad Bagdja, salah satu ketua di PBNU, menilai kesepakatan Buntet itu masih sebagai sikap pribadi. Meski pesertanya banyak pengurus PBNU, menurut dia, belumlah mencerminkan sikap PBNU. "Dukungan kepada calon presiden adalah keputusan partai politik, bukan PBNU," kata mantan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung ini.
Apakah sikap Buntet ini pertanda mulai mengerucutnya dukungan para kiai NU pada Gus Dur? "Jelas tidak," kata KH Cholil Bisri. Wakil Ketua Dewan Syuro PKB ini belakangan dikenal kerap menggalang para kiai yang kritis pada Gus Dur. Kiai Cholil menyoal tidak diundangnya sejumlah ulama penting. Misalnya KH Ilyas Rukhiyat (Tasikmalaya), KH Mustofa Bisri (Rembang), KH Mas Subadar (Pasuruan), dan KH Sahal Mahfudz (Pati). Kiai Sahal hari itu malah bertemu Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
"Saya ketawa mendengar keputusan itu. Pesan saya, jangan sampai disengat kalajengking dua kali pada lubang yang sama," kata Cholil. Maksudnya, jangan mengulang dua keputusan Buntet lima tahun silam? "Silakan tafsirkan sendiri!" ujarnya sambil terkekeh.
Asrori S. Karni dan Hendri Firzani
[Nasional, GATRA, Edisi 18 Beredar Jumat 12 Maret 2004]
"Lima tahun lalu, setelah pertemuan di rumah yang penuh barokah ini, Gus Dur terpilih sebagai presiden," kata KH Ibnu Ubaidillah, pemimpin sidang para ulama itu. "Setelah pertemuan lagi ini, kami berdoa semoga Gus Dur terpilih kembali," begitu pengasuh Pesantren Arjawinangun, Cirebon, ini menambahkan. Acara itu sendiri bertajuk "Musyawarah Ulama Khos se-Indonesia".
Tampak hadir kiai dari jajaran Mustasyar (penasihat) dan Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dari unsur Mustasyar, selain KH Abdullah Abbas, tampak KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), Tuan Guru H. Turmudzi Badruddin (Lombok), KH Sanusi Baco (Makassar), dan KH Syekh Muchtar Muda Nasution (Medan). Gus Dur sendiri baru tiba setelah makan siang.
Kalangan Syuriyah diwakili oleh KH Fachruddin Masturo (Sukabumi) dan KH Fuad Hasyim (Buntet). Ada pula kiai yang aktif di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Namun mereka hadir dalam kapasitas pribadi," kata Ibnu Ubaidillah, yang Ketua Dewan Syuro PKB Jawa Barat itu.
Pertemuan itu menghasilkan tiga kesimpulan. Salah satunya, penahbisan Gus Dur itu. Namun butir ini diberi klausul tambahan, "Pada saat Gus Dur berhalangan atau terganjal persyaratan calon presiden, maka Gus Dur sebaiknya menunjuk penggantinya."
Para kiai ini akan kembali bermusyawarah setelah pemilu legislatif nanti, untuk memastikan siapa sang calon pengganti itu bila diperlukan. Ibnu sempat mengusulkan agar nama pengganti diputuskan sekalian. "Saya sudah menyiapkan kertas suara untuk voting," katanya. Namun niat itu urung dilaksanakan setelah melewati debat alot.
Ibnu mengakui, klausul pengganti itu bisa mengakomodasi "aspirasi lain" di lingkungan NU. Maklumlah, Selasa pekan lalu, Gerakan Pemuda Ansor mengajukan kriteria, calon presiden yang diidamkan adalah yang belum pernah menjabat presiden. Maksudnya, tentu bukan Gus Dur. "Kami sudah lama menyuarakan kriteria itu," kata Maskud Chandranegara, Wakil Sekretaris Jenderal Pemuda Ansor. Namun sinyalemen ini ditepis oleh Zuhdi Muhdlor, Pelaksana Harian Ketua Umum Ansor. "Itu hanya wacana, pada akhirnya Ansor akan ikut PBNU," kata Zuhdi.
Sebelumnya, sempat muncul "Kaukus Seribu Kiai" yang bertemu di Batu Ceper, Tangerang, Oktober 2003. Mereka mempertanyakan kepemimpinan Gus Dur. Yang lebih genting bergulir menjelang Musyawarah Kerja Nasional PKB, Mei 2003. Para tokoh Pengurus Wilayah NU berkumpul di Hotel Sahid Jaya dan meminta PKB mempertimbangkan Hasyim Muzadi sebagai calon presiden.
Sejak itu, hubungan Gus Dur-Hasyim meregang. Namun pertemuan Buntet mengubah situasi di tubuh NU. Sikap Gus Dur melunak. "Beliau cuma menegaskan, polemiknya dengan Pak Hasyim harus diakhiri," kata Ibnu. Gus Dur sendiri menyatakan hal serupa. "Saya menganggap Pak Hasyim tokoh NU yang harus dihormati, tidak ada masalah. Lagi pula, Pak Hasyim ngomong di beberapa tempat ia tak mau dicalonkan," kata Gus Dur.
Toh, Ahmad Bagdja, salah satu ketua di PBNU, menilai kesepakatan Buntet itu masih sebagai sikap pribadi. Meski pesertanya banyak pengurus PBNU, menurut dia, belumlah mencerminkan sikap PBNU. "Dukungan kepada calon presiden adalah keputusan partai politik, bukan PBNU," kata mantan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung ini.
Apakah sikap Buntet ini pertanda mulai mengerucutnya dukungan para kiai NU pada Gus Dur? "Jelas tidak," kata KH Cholil Bisri. Wakil Ketua Dewan Syuro PKB ini belakangan dikenal kerap menggalang para kiai yang kritis pada Gus Dur. Kiai Cholil menyoal tidak diundangnya sejumlah ulama penting. Misalnya KH Ilyas Rukhiyat (Tasikmalaya), KH Mustofa Bisri (Rembang), KH Mas Subadar (Pasuruan), dan KH Sahal Mahfudz (Pati). Kiai Sahal hari itu malah bertemu Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
"Saya ketawa mendengar keputusan itu. Pesan saya, jangan sampai disengat kalajengking dua kali pada lubang yang sama," kata Cholil. Maksudnya, jangan mengulang dua keputusan Buntet lima tahun silam? "Silakan tafsirkan sendiri!" ujarnya sambil terkekeh.
Asrori S. Karni dan Hendri Firzani
[Nasional, GATRA, Edisi 18 Beredar Jumat 12 Maret 2004]
0 comments:
Post a Comment