KARAKTERISTIK SUFISME JALALUDDIN RUMI
A. Pendahuluan
Tasawuf atau sufisme adalah suatu ilmu pengetahuan. Sebagai
ilmu pengetahuan, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim
dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt.
Dengan demikian, seorang sufi senantiasa mempunyai tujuan
memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia
berada di hadirat Tuhan. Dengan kata lain, bahwa intisari dari sufisme ialah
kesadaran akan komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan
jalan mengasingkan diri dan kontemplasi.
Adapun kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat mengambil
berbagai bentuk sesuai dengan kondisi sufi itu sendiri. Yakni bisa berbentuk ma'rifah,
mahabbah, ittihad, hulul maupun wihdah al-wujud.
Untuk mencapai tujuannya (yakni berada dekat dan bersatu
dengan Tuhan), seorang sufi harus menempuh jalan panjang, di antaranya melalui al-zuhd,
yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian, atau kata lain,
meninggalkan keramaian dan mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan
juga tak mau lagi berhubungan dengan manusia yang dirasa tak lagi bermanfaat,
apalagi jika dapat menggangu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Karena
itu, banyak tuduhan ditujukan pada para sufi, bahwa kaum sufi lebih cenderung
bersikap fatalistis dan dianggap sebagai biang keladi kemunduran Islam.
Sungguhpun demikian, banyak pula kita jumpai tokoh-tokoh sufi
yang amat peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar dan mau menyumbangkan
gagasan-gagasan kemanusiaan yang mendasar, sekalipun oleh kelangsungan masa
mereka terdesak ke latar belakang kesejarahan. Satu di antara sekian banyak
tokoh tersebut adalah seorang sufi yang akan menjadi figur utama dalam tulisan
ini, yakni Jalaluddin Rumi.
Dilihat dari luasnya wawasan dan tajamnya penglihatan
pandangannya, dari tema-tema universal yang diangkat dalam setiap baris
karyanya dan dari cara mengungkapkan pikiran dalam bahasa puisi yang sarat
simbol, tak pelak lagi bahwa Rumi adalah seorang jenius dengan pikiran dan otak
brilian. Dengan visinya yang tajam, ia mampu menerobos dinding zamannya dan
mendahului beberapa abad gagasan-gagasan humanistis para pemikir besar dunia
yang datang kemudian.
Hal ini sebagaimana ungkapan Erich Fromm, seorang pengikut
Neo-Freudian:
"Dua ratus tahun
sebelum pemikiran humanisme renaisance, Rumi telah mendahului mengemukakan
ide-ide tentang toleransi agama yang dapat ditemukan pada Erasmus dan Nicholas
De Cusa, dan ide-ide tentang cinta sebagai tenaga kreatif yang fundamental
sebagai yang dikemukakan oleh Facini... Rumi bukan saja seorang penyair dan
mistikus (sufi) serta pendiri Tarekat; tetapi ia juga seorang manusia yang
mengetahui secara mendalam tabiat-tabiat manusia.
Makalah singkat ini ingin melacak karakteristik (watak)
sufisme Jalaluddin Rumi, yang diungkapkan melalui bait-bait syair dan puisi, di
mana oleh sementara orang ia dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali
semangat keagamaan kaum muslimin dan berusaha membuang jauh-jauh kesan yang
selama ini merusak citra para sufi yang dianggap sebagai fatalis. Sebaliknya,
ia mengetengahkan gagasan-gagasan yang penuh dinamika yang mendorong manusia
untuk senantiasa berbuat, berkarya dan bekerja keras untuk menunaikan tugas
kemanusiaannya yang amat berat.
B. Sekilas Tentang Jalaluddin Rumi.
Nama Asli Rumi adalah Muhammad Jalaluddin. Tetapi kemudian,
ia terkenal dengan sebutan Maulana al-Rumi atau Rumi saja. Ia dilahirkan pada
tanggal 6 Robiul Awwal 604 H (30 September 1207 M) di Balkh, yang pada
saat itu masuk dalam wilayah kerajaan Khawarizm, Persia Utara. Rumi Lahir dari
benih unggul. Dari pihak ayah, ia mempunyai garis keturunan Abu Bakar
al-Shiddiq, sedangkan dari pihak ibu, ada hubungan darah dengan Ali ibn Abi
Thalib. Ia juga termasuk keluarga kerajaan, karena kakeknya, Jalaluddin Huseyn
al-Katibi, menikah dengan putri raja 'Ala al-Din Muhammad Khawarizm Syah. Dari
perkawinan ini, lahirlah ayah Rumi yang bernama Muhammad, yang selanjutnya ia
bergelar Baha' al-Din Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di
masa itu yang juga bergelar Sultanu al-Ulama'.
Pada masa kanak-kanak, Rumi dididik sendiri oleh ayahnya yang
merupakan ulama’ besar saat itu. Setelah itu oleh ayahnya, Rumi dipercayakan
pada salah satu muridnya, Sayid Burhanuddin, selama empat sampai lima tahun,
sebelum hijrah dari Balkh.
Pengembaraannya yang cukup panjang ke beberapa kota dan
negeri tetangga, dengan ayah dan keluarganya, memberi kesan yang mendalam
tentang gejolak sejarah dan romantika kehidupan manusia. Sedangkan
perjumpaannya dengan beberapa tokoh besar seperti Fariduddin al-Attar,
Sihabuddin al-Suhrawardi dan juga Muhammad ibn Ali ibn Malik Daad, yang lebih
dikenal dengan Syamsuddin alTabrizi atau Syam Tabriz, telah membangkitkan
antusiasme yang cukup besar untuk menjadi manusia terhormat. Hal yang demikian
membuat Fariduddin al-Attar dengan penuh optimisme meramalkan: "Hari akan
datang, di mana anak ini akan menyalakan api antusiasme ketuhanan ke seluruh
dunia".
Ketika ayahnya meninggal tahun 1230 M, Rumi diangkat sebagai
ganti ayahnya untuk mengajar di Madrasa-i-uba'iyyat (Khudavandgar), dan sebagai
penasihat para sarjana dan mahasiswa. Selain itu, ia juga berubah profesi
sebagai penyiar agama. Dari ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu
pengetahuan jamannya, terutama ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola
pemikiran teologinya, disamping ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan
kota serta dengan beberapa tokoh besar lainnya.
C. Jalaluddin Rumi dan Karya-Karyanya.
Rumi adalah termasuk tokoh sufi yang produktif. Di samping
sebagai juru da'i dan guru, dia juga aktif menulis karya-karya sufisme yang
mayoritas berbentuk sya'ir atau prosa. Karena itu, wajarlah jika ia dijuluki
sebagai sufi-penyair besar.
Karya sastra Rumi bisa dibilang sangat jamak; dalam bukunya Diwan-i
Syams-i Tabriz terdapat kurang lebih 2500 lirik; dalam Masnawi
sekitar 25.000 bait syair; dan Ruba'iyyat (syair empat baris) yang
kira-kira 1600 barisnya adalah asli.
Secara ringkas, karya-karya Jalaluddin Rumi dapat
diklasifikasikan menjadi 6 buah karya; 3 karya besar dan 3 karya yang relatif
kecil. Adapun karya besarnya adalah sebagai berikut:
- Maqalat-i Syams-i Tabriz (wejangan-wejangan Syam Tabriz). Karya ini berisi tentang dialog-dialog mistis antara Syam Tabriz sebagai guru dan Rumi sebagai murid.
- Divan-i Syams-i Tabriz (lirik-lirik Syams Tabriz). Karya ini disusun Rumi saat ia berpisah dengan gurunya Syam Tabriz, yang berisi pujaan disamping untuk mengenang guru sekaligus sahabat yang dicintainya.
- Masnav-i Ma'nawi (Masnawi Jalaluddin Rumi). Karya ini berisi ajaran-ajaran pokok Tasawuf Rumi yang sangat mendalam. Para pengikut Rumi menganggapnya sebagai penyibak makna batin al-Qur'an. Karya ini ia sampaikan dalam bahasa puisi yang kreatif melalui apologi, anekdot dan legenda.
Sedangkan karya Rumi yang relatif kecil antara lain:
- Ruba'iyyat. Karya puisi Rumi yang disampaikan dalam bentuk Kuatrin (sajak 4 baris).
- Maktubat (Korespondensi). Karya ini merupakan kumpulan surat-surat Rumi yang ditujukan kepada dan untuk membalas rekan-rekan atau para pengikutnya.
- Fihi Ma Fihi (Di dalam apa yang ada di dalam). Karya ini merupakan ceramah tasawuf Rumi kepada para pengikutnya yang tergabung dalam tarekatnya.
D. Karakteristik Sufisme Jalaluddin Rumi
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa karya-karya
Rumi mayoritas berbentuk sya'ir, maka untuk melacak dan mengetahui lebih jauh
karakteristik sufisme Rumi perlu juga dilakukan analisa terhadap karya-karya
tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
"Wahai kegilaan yang membuai, Kasih !
Engkau Tabib semua penyakit kami !
Engkau penyembuh harga diri,
Engkau Plato dan Galen kami !
Dalam hal ini, Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa Rumi masuk ke
dalam madzhab Realitas Utama Sebagai Keindahan, sebagaimana Ibn Sina, yang
pembawaannya terletak dalam melihat "wajah-Nya sendiri yang tercermin
dalam cermin alam semesta". Karena itu, alam semesta ini bagi mereka
berdua merupakan pantulan "Keindahan Abadi" dan bukan suatu emanasi
seperti yang diajarkan oleh Neo-Platonisme. Juga, menurut Mir Sayyid Syarif,
penyebab penciptaan ialah manifestasi keindahan, dan penciptaan yang pertama
ialah cinta. Wujud Keindahan ini dihasilkan oleh cinta kasih semesta, yang
instingtif-bawaan. Zoroaster dari Sufi Persia senang mendefinisikannya sebagai
"Api Kudus yang membakar segalanya kecuali Tuhan".
Ekspresi-ekspresi sufisme sering berpegang pada keseimbangan
antara cinta dan pengetahuan, suatu bentuk ekspresi emosional yang lebih mudah
memadukan sikap keagamaan yang merupakan titik awal setiap kehidupan kerohanian
Islam. Begitu pula yang dilakukan oleh Jalaluddin Rumi, ia mengekspresikannya
dalam bahasa cinta. Hal itu dapat ditemukan dalam sya'irnya yang lain:
Aku adalah kehidupan dari yang kucintai
Apa yang dapat kulakukan hai orang-orang Muslim ?
Aku sendiri tidak tahu.
Aku bukan orang kristen, bukan orang Yahudi, bukan
orang Magi, bukan orang Mosul,
Bukan dari Timur, bukan dari barat, bukan dari darat,
bukan dari laut,
Bukan dari tambang Alama, bukan dari langit yang melingkar,
Bukan dari bumi, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari
api,
Bukan dari singgasana, bukan dari tanah, dari eksistensi, dari
ada,
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqsee,
Bukan dari kerajaan-kerajaan Irak dan Kurasan,
Bukan dari dunia ini atau yang berikutnya; dari syurga atau
neraka,
Bukan dari Adam, Hawa, taman-taman syurgawi, atau firdausi,
Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak,
Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang
kucintai.
Dalama kenyataannya, perbedaan antara jalan pengetahuan dan
jalan cinta bermuara pada masalah keunggulan salah satunya atas lainnya, meskipun
sebenarnya tidak pernah ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani
tersebut. Pengetahuan tentang Tuhan selalu memikirkan cinta, sementara cinta
mengisyaratkan adanya pengetahuan mengenai obyek cinta, walaupun itu hanya
merupakan pengetahuan langsung dan renungan.
Obyek cinta rohani adalah keindahan Tuhan yang merupakan
suatu aspek dari ketakterbatasan Tuhan, dan melalui obyek ini rasa cinta
menjadi terang dan jelas. Cinta yang penuh dan terpadu berputar mengelilingi
sesuatu titik tunggal yang tak terlukiskan, Allah Swt.
Selanjutnya menurut Rumi, cinta lebih tinggi dari kecemasan,
hal ini dapat kita fahami dalam sayirnya:
Sang Sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap, sang zahid
membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.
Meskipun bagi sang zahid, sehari bernilai besar
sekali, namun bagaimana satu harinya bisa sama dengan lima puluh ribu tahun ?
Dalam kehidupan sang Sufi, setiap hari berarti lima
puluh ribu tahun di dunia ini.
Cinta (mahabbah), dan juga gairah cinta ('isyq)
adalah sifat Tuhan, takut adalah sifat hawa nafsu dan birahi.
Cinta memiliki lima ratus sayap, dan setiap sayap
membentang dari atas syurga di langit tertinggi sampai di bawah bumi.
Sang zahid yang ketakutan berlari dengan kaki, para
pecinta Tuhan terbang lebih cepat dari pada kilat.
Semoga Rahmat Tuhan membebaskanmu dari pengembaraan
ini!, tak ada yang sampai kecuali rajawali yang setialah yang menemukan jalan
menuju sang Raja.
Menurut Annemarie Schimmel, kekuatan Rumi adalah cintanya,
suatu pengalaman cinta dalam makna manusiawi tetapi sama sekali didasarkan pada
Tuhan. Ia merasa bahwa dalam setiap do'a ada rahmat Ilahi, dan ia membukanya
sendiri rahmat Ilahi itu. Beserta dengan kehendak Ilahi, ia menemukan pemecahan
bagi teka-teki taqdir dan mampu menjulang ke puncak kebahagiaan dari kesedihan
yang paling dalam karena perpisahan. Hal ini diungkapkannya dalam sebuah syair:
"Aku terbakar, dan terbakar dan terbakar"
Selanjutnya, Schimmel mengatakan bahwa Rumi telah mengalami
keindahan dan keagungan Ilahi dengan seluruh indranya. Pengalaman indrawi
terpantul kuat dalam sajaknya, dan dalam sajak itu selalu terjaga keseimbangan
antara pengalaman indrawi dan kasih Ilahi, sebagaimana berikut:
Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis,
Lewat cintalah semua yang tembaga akan jadi emas,
Lewat cintalah semua endapan akan jadi anggur murni,
Lewat cintalah semua kesedihan akan jadi obat,
Lewat cintalah si mati akan jadi hidup,
Lewat cintalah Raja jadi budak.
Dalam suatu kesempatan, Rumi pernah mengatakan bahwa hingga
hari kebangkitan pun kita tidak mungkin bisa berbicara secara memadai tentang
wajah cinta. Sebab, menurutnya, mana mungkin mengukur samudera dengan piring.
Dari beberapa syair Rumi tersebut, kita memperoleh pemahaman
bahwa pemahaman atas Tuhan beserta alam semesta hanya mungkin lewat bahasa
cinta, bukan semata-mata dengan kerja dan usaha yang bersifat fisik lahiriyah.
E. Kesimpulan
Dari syair Rumi dan ungkapan-ungkapan sufistiknya, kita
memperoleh gambaran:
- Tuhan sebagai satu-satunya tujuan, tak ada yang menyamai. Karena itu, penggambaran Tuhan hanya mungkin lewat perbandingan, di mana yang terpenting adalah makna perbandingan itu sendiri, bukan wujud lahiriyah atau interpretasi fisiknya.
- Manusia senantiasa tidak puas; nafsunya selalu ingin terpenuhi. Karena itu, ia harus terus bertarung melalui segala usaha. Namun, baru dalam cintalah ia mendapatkan kepuasan.
- Cinta, menurut Rumi, adalah lenyapnya kedirian, yaitu kesatuan sempurna antara kekasih Tuhan dengan Tuhan. Dengan ketiadaan diri (fana') berarti terbuka bagi memancarnya cahaya Ilahi. Dengan kata lain, Tuhan adalah segala-galanya, tak ada selain Dia.
- Jadi, watak sufisme Rumi adalah menjadikan cinta sebagai sarana untuk bisa bersatu dan dekat dengan Tuhan.
0 comments:
Post a Comment