Imam Syafie
Imam Syafie
bernama Muhammad bin Idris. Salasilah keturunan beliau adalah Muhammad bin
Idris bin Abbas bin Usman bin Syafie bin Saib bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Abdul
Mutalib bin Abdul Manaf.
Keturunan
beliau bertemu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada datuk Nabi Muhammad yang
ketiga yaitu Abdul Manaf.
Beliau
dilahirkan di Ghuzah nama sebuah kampung yang termasuk daerah Palestin, pada
bulan Rejab 150 H atau 767 Masehi. Tempat asal ayah dan bonda beliau ialah di
Kota Makkah. Imam Syafie lahir di Palestin karena ketika itu bondanya pergi ke
daerah itu demi keperluan penting. Namun di dalam perjalanan menuju Palestin
tersebut ayahnya meninggal dunia, sementara Imam Syafie masih dalam kandungan
ibunya. Setelah berumur dua tahun baru Imam Syafie dan ibunya kembali ke Kota
Makkah.
Ketika berumur
9 tahun beliau telah hafal Al-Quran 30 juz. Umur 19 tahun telah mengerti isi
kitab Al-Muwatha’, karangan Imam Malik, tidak lama kemudian Al-Muwatha’ telah
dihafalnya. Kitab Al-Muwatha’ tersebut berisi Hadist-Hadist Rasulullah SAW,
yang dihimpun oleh Imam Malik.
Karena
kecerdasannya pada umur 15 tahun beliau telah diizinkan memberi fatwa di
hadapan masyarakat dan menjawat sebagai guru besar ilmu Hadist serta menjadi
mufti dalam Masjidil Haram di Makkah.
Ketika berumur
20 tahun beliau pergi belajar ke tempat Imam Malik di Madinah, setelah itu
beliau ke Irak, Parsi dan akhirnya kembali ke Madinah. Dalam usia 29 tahun
beliau pergi ke Yaman untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Tentang
ketaatan beliau dalam beribadah kepada Allah diceritakan bahwa setiap malam
beliau membagi malam itu kepada tiga bahagian. Sepertiga malam beliau gunakan
kewajipan sebagai manusia yang mempunyai keluarga, sepertiga malam untuk solat
dan zikir dan sepertiga lagi untuk tidur.
Ketika Imam
Syafie di Yaman, beliau diangkat menjadi setiausaha dan penulis istimewa
Gubernur di Yaman, sekaligus menjadi guru besar di sana. Karena beliau termasuk
orang pendatang, secara tiba-tiba memangku jawatan yang tinggi, maka ramai
orang yang memfitnah beliau.
Ahli sejarah
telah menceritakan bahwa waktu sultan Harun Ar-Rasyid sedang marah terhadap
kaum Syiah, sebab golongan tersebut berusaha untuk meruntuhkan kekuasaan
Abbasiyah, mereka berhasrat mendirikan sebuah kerajaan Alawiyah yaitu keturunan
Saidina Ali bin Abi Talib. Karena itu di mana kaum Syiah berada mereka diburu
dan dibunuh.
Suatu kali
datang surat baginda Sultan dari Baghdad. Dalam surat yang ditujukan kepada
Wali negeri itu diberitahukan supaya semua kaum Syiah ditangkap. Untuk pertama
kali yang paling penting adalah para pemimpinnya, jika pekerjaan penangkapan
telah selesai semua mereka akan dikirimkan ke Baghdad. Semuanya harus
dibelenggu dan dirantai. Imam Syafie juga ditangkap, sebab di dalam surat
tersebut bahwa Imam Syafie termasuk dalam senarai para pemimpin Syiah.
Ketika
peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan, Imam Syafie dibawa ke Baghdad dengan
dirantai kedua belah tangannya. Dalam keadaan dibelenggu itu para tahanan
disuruh berjalan kaki mulai dari Arab Selatan (Yaman) sampai ke Arab Utara
(Baghdad), yang menempuh perjalanan selama dua bulan. Sampai di Baghdad belenggu
belum dibuka, yang menyebabkan darah-darah hitam melekat pada rantai-rantai
yang mengikat tangan mereka.
Pada suatu
malam pengadilan pun dimulai. Para tahanan satu persatu masuk ke dalam bilik
pemeriksaan. Setelah mereka ditanya dengan beberapa kalimat, mereka dibunuh
dengan memenggal leher tahanan tersebut. Supaya darah yang keluar dari leher
yang dipotong itu tidak berserak ia dialas dengan kulit binatang yang diberi
nama dengan natha’.
Imam Syafie
dalam keadaan tenang menunggu giliran, dengan memohon keadilan kepada Allah
SWT. Kemudian beliau dipanggil ke hadapan baginda Sultan. Imam Syafie
menyerahkan segalanya hanya kepada Allah SWT. Dengan keadaan merangkak karena
kedua belah kaki beliau diikat dengan rantai, Imam Syafie mengadap Sultan. Semua
para pembesar memperhatikan beliau.
“Assalamualaika,
ya Amirul Mukminin wabarakatuh.”
Demikian ucapan
salam beliau kepada baginda dengan tidak disempurnakan yaitu “Warahmatullah.”
“Wa
alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.” Jawab baginda. Kemudian baginda
bertanya: “Mengapa engkau mengucap salam dengan ucapan yang tidak diperintahkan
oleh sunnah, dan mengapa engkau berani berkata-kata dalam majlis ini sebelum
mendapat izin dari saya?”
Imam Syafie
menjawab: “Tidak saya ucapkan kata “Warahmatullah” karena rahmat Allah itu
terletak dalam hati baginda sendiri.” Mendengar kata-kata itu hati baginda jadi
lembut. Kemudian Imam Syafie membaca surah An-Nur ayat 55 yang bermaksud:
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang soleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhoiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.”
Setelah membaca
ayat di atas kemudian Imam Syafie berkata: “Demikianlah Allah telah menepati
janjiNya, karena sekarang baginda telah menjadi khalifah, jawapan salam baginda
tadi membuat hati saya menjadi aman.” Hati baginda menjadi bertambah lembut.
Baginda Harun ar Rashid bertanya kembali: “Kenapa engkau menyebarkan faham
Syiah, dan apa alasanmu untuk menolak tuduhan atas dirimu.”
“Saya tidak
dapat menjawab pertanyaan baginda dengan baik bila saya masih dirantai begini,
jika belenggu ini dibuka Insya-Allah saya akan menjawab dengan sempurna. Lalu
baginda memerintahkan kepada pengawal untuk membukakan belenggu yang mengikat
lmam Syafie itu.
Setelah rantai
yang membelenggu kedua kaki dan tangannya itu dibuka, maka Imam Syafie duduk
dengan baik kemudian membaca surah Hujarat ayat 6:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq yang membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”
“Ya Amirul
Mukminin, sesungguhnya berita yang sampai kepada baginda itu adalah dusta
belaka. Sesungguhnya saya ini menjaga kehormatan Islam. Dan bagindalah yang
berhak memegang adab kitab Allah karena baginda adalah putera bapak saudara
Rasulullah SAW yaitu Abbas. Kita sama-sama menghormati keluarga Rasulullah.
Maka kalau saya dituduh Syiah karena saya sayang dan cinta kepada Rasulullah
dan keluarganya, maka demi Allah, biarlah umat Islam sedunia ini menyaksikan
bahwa saya adalah Syiah. Dan tuan-tuan sendiri tentunya sayang dan cinta kepada
keluarga Rasulullah.” Demikian jawab Imam Syafie.
Baginda Harun
ar Rasyid pun menekurkan kepalanya kemudian ia berkata kepada Imam Syafie:
“Mulai hari ini bergembiralah engkau agar lenyaplah perselisihan antara kami
dengan kamu, karena kami harus memelihara dan menghormati pengetahuanmu wahai
Imam Syafie.”
Demikianlah kehidupan Imam Syafie sebagai
ulama besar, yang tidak lepas dari berbagai cubaan serta seksaan dari pihak
yang tak mengerti akan hakikat kebenaran yang sesungguhnya. Hanya ketabahan dan
keimanan serta pengetahuanlah yang dapat menghadapi setiap cubaan itu sebagai
suatu ujian dari Allah SWT yang harus kita hadapi.
0 comments:
Post a Comment