Imam Hambali
Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hambal. Beliau adalah Imam yang keempat dari fuqahak Islam. Beliau
memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi.
Ahmad bin
Hambal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164H. Beliau
termasyhur dengan nama datuknya Hambal, karena datuknya lebih masyhur dari
ayahnya.
Ibnu Hambal
hidup dalam keadaan miskin, karena ayahnya hanya meninggalkan sebuah rumah
kecil dan tanah yang sempit. Beliau terpaksa melakukan berbagai pekerjaan.
Beliau pernah bekerja di tempat tukang jahit, mengambil upah menulis, menenun
kain dan kadangkala mengambil upah mengangkat barang-barang orang. Beliau lebih
mementingkan makanan yang halal lagi baik dan beliau tidak senang menerima
hadiah-hadiah.
Ketika ia masih
berumur 14 tahun, Ahmad bin Hambal telah belajar mengarang dan menghafal
Al-Quran. Beliau bekerja keras dalam menuntut ilmu pengetahuan. Sebagai seorang
ulama yang sangat banyak ilmunya, Ibnu Hambal pun seorang yang teguh imannya,
berani berbuat di atas kebenaran. Dia tidak takut bahaya apa pun terhadap
dirinya di dalam menegakkan kebenaran itu. Karena Allah memang telah menentukan
bahwa setiap orang yang beriman itu pasti akan diuji keimanannya. Termasuk juga
para nabi dan rasul yang tidak pernah lepas dari berbagai ujian dan cubaan.
Ujian dan
cubaan berupa fitnah, kemiskinan, seksaan dan lain-lainnya itu selalu akan
mendampingi orang-orang yang beriman apalagi orang yang menegakkan kebenaran.
Demikian juga halnya dengan Imam Hambali, terlalu banyak bahaya yang
dihadapinya dalam berjuang menegakkan kebenaran agama. Ujian itu datangnya
bermacam-macam kadangkala dari musuh kita dan dapat juga timbul dari
kawan-kawan yang merasa iri dengan kebolehan seseorang.
Imam Hambali
berada di zaman kekuasaan kaum Muktazilah yang berpendapat bahwa Quran itu
adalah makhluk. Pendirian ini begitu kuatnya di kalangan pemerintah, sehingga
barangsiapa yang bertentangan pendirian dengan pihak pemerintah tentu akan
mendapat seksaan. Sebelum Al-Makmun ini, yakni di zaman sultan Harun Al-Rasyid,
ada seorang ulama bernama Basyar Al-Marisy berpendapat bahwa Quran itu adalah
makhluk. Baginda Harun Al-Rasyid tidak mau menerima pendapat tersebut. Bahkan
terhadap orang yang berpendapat demikian akan diberi hukuman. Karena ancaman
itu akhirnya Basyar melarikan diri dari Baghdad.
Sultan Harun
Al-Rasyid pernah berkata: “Kalau umurku panjang dan masih dapat berjumpa dengan
Basyar nescaya akan kubunuh dia dengan cara yang belum pernah aku lakukan
terhadap yang lain?” Selama 20 tahun lamanya Syekh Basyar menyembunyikan diri
dari kekuasaan Sultan.
Tetapi setelah
Sultan Harun Al-Rasyid meninggal dunia, kemudian diganti dengan puteranya
Al-Amin barulah Syekh Basyar keluar dari persembunyiannya. Kembali ia
mengeluarkan pendapatnya itu, bahwa Quran itu adalah makhluk. Al-Amin juga
sependirian dengan ayahnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Ia mengancam
berat terhadap orang yang mengatakan Quran itu makhluk.
Kemudian kepala
negara pindah lagi ke tangan saudara Al-Amin yaitu Al-Makmun. Di zaman
pemerintahan Al-Makmun inilah pendapat tentang Quran itu makhluk mula diterima.
Al-Makmun sendiri telah terpengaruh dan ikut berpendapat demikian. Pada suatu
kali oleh Al-Makmun diadakan pertemuan para ulama besar, untuk membincangkan
hal itu, tetapi para ulama tetap berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah makhluk.
Al-Makmun mengharapkan supaya pendapat itu diterima orang ramai.
Pada masa itu
satu-satunya ulama yang keras berpendirian bahwa “Al-Quran itu bukan makhluk?”
Hanyalah Imam Hambali. Secara terus terang ia berkata di hadapan Sultan:“Bahwa
Al-Quran bukanlah makhluk yang dijadikan Allah, tetapi ia adalah Kalamullah.”
Imam Hambali
satu-satunya ulama ketika itu yang berani membantah, sedangkan yang lainnya
diam seribu bahasa. Kemudian ia ditangkap dan dihadapkan ke hadapan baginda. Ia
dipanggil bersama tiga orang ulama yang lainnya, yaitu Imam Hassan bin Muhammad
Sajah, Imam Muhammad bin Nuh dan Imam Ubaidah bin Umar. Kedua ulama di antara
mereka sama menjawab dan membenarkan pendapat baginda sementara Imam Hambali
dan Imam Muhammad bin Nuh dengan tegas menjawab bahwa Quran itu bukanlah
makhluk. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam penjara. Setelah beberapa hari dalam
penjara datang surat dari Tharsus yang meminta supaya keduanya dibawa ke sana
dengan dirantai.
Kedua ulama
tersebut betul-betul dirantai kedua kaki dan tangannya dan ditunjukkan di
hadapan orang ramai. Kemudian dibawa ke Tharsus, sesampainya di sana keduanya
dimasukkan ke dalam penjara. Kerajaan mempunyai seorang ulama besar bernama
Ahmad bin Abi Daud, yang pandai berbicara namun lemah dalam pendirian.
Terhadap Imam
Hambali mereka minta supaya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya.
Baginda raja menerima usulan tersebut. Lalu Imam Hambali dihadapkan depan raja
dan ditanyakan tentang pendiriannya. Namun ia tetap menyampaikan pendiriannya
bahwa Al-Quran itu ialah Kalamullah bukan makhluk. Dan ia menegaskan lagi bahwa
ia tidak akan berubah dari pendiriannya itu.
Akhirnya
terjadilah persidangan yang dipimpin oleh baginda sendiri. Kemudian baginda
memanggil Imam Hambali dan berkata: “Atas nama saya sebagai kerabat Nabi
Muhammad SAW saya akan memukul engkau beberapa kali, sampai engkau membenarkan
apa yang telah saya benarkan, atau mengatakan seperti yang saya kata?” Karena
Imam Hambali masih tetap dengan pendiriannya, maka baginda memerintahkan kepada
perajuritnya untuk memukul Imam Hambali.
Ketika cambuk
yang pertama singgah di punggung beliau, beliau mengucapkan “Bismillah.” Ketika
cambuk yang kedua, beliau mengucapkan “La haula walaa quwwata illaa billah”
(tiada daya dan kekuatan apa pun kecuali izin Allah). Ketika cambuk yang ketiga
kalinya beliau mengucapkan “Al-Quran kalaamullahi ghairu makhluk” (Al-Quran
adalah kalam Allah bukan makhluk). Dan ketika pada pukulan yang keempat, beliau
membaca surah At-Taubah ayat 51.
“Katakanlah:
Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang ditetapkan oleh Allah
bagi kami.”
Sehingga
seluruh badan beliau mengalir darah merah.
Akhirnya beliau
dimasukkan ke dalam penjara kembali. Pada suatu hari ketika Imam Hambali dibawa
ke Kota Anbar dengan tangan yang terbelenggu, seorang yang alim bernama Abu
Ja’far Al-Anbari menghampiri beliau. Imam Hambali bertanya kepadanya: “Hai Abu
Ja’far apakah engkau susah melihat keadaanku?” “Tidak wahai Imam, engkau adalah
pemuka umat, karena umat manusia ada di belakangmu. Demi Allah, bila engkau mau
menjawab bahwa Quran itu makhluk, pastilah umat akan mengikutimu, dan bila
engkau tidak mau menjawab, maka umat juga tidak mau menjawab seperti apa yang
ingin engkau jawab. Bila engkau tidak mati dibunuh orang, pasti engkau juga
akan mati dengan cara yang lain. Maka janganlah engkau mau menuruti kehendak
mereka.”
Mendengar kata-kata Ja’far itu beliau
mencucurkan air mata dan berkata: “Masya-Allah!, Masya-Allah!, Masya-Allah!.
Kemudian beliau pun dikunjungi oleh bekas penjahat bernama Abdul Haitsam
Al-Ayyar dan berkata kepada beliau: “Wahai Imam, saya ini seorang pencuri yang
didera dengan beribu-ribu cambukan, namun saya tidak mau mengakui perbuatan
saya, pada hal saya menyedari bahwa saya salah. Maka janganlah Imam gelisah
dalam menerima dera, sebab engkau dalam kebenaran.”
Ketika Khalifah
Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 218H (833 M) setelah memerintah 20 tahun
lamanya, yang mengganti beliau ialah saudaranya yang bernama Ishaq Muhammad bin
Harun Al-Rasyid yang bergelar dengan Al-Muktashimbillah. Sebelum Khalifah
Al-Makmun meninggal dunia beliau telah berpesan kepada bakal penggantinya itu
bahwa faham Al-Quran itu makhluk harus dipertahankan.”
Kebijaksanaan
kerajaan yang menyeksa para ulama yang tidak sependirian dengan faham kerajaan
itu atas dasar hasutan seorang ulama kerajaan yang bernama Qadhi Qudhoti Ahmad
bin Abi Daud (Daud). Ulama inilah yang memberikan usulan kepada Al-makmun bahwa
jika Imam Ahmad bin Hambal tetap tidak mau mengikuti bahwa Al-Quran itu makhluk
hendaklah dihukum dengan hukuman yang berat.
Setelah
kerajaan dipegang oleh Al-Muktasim ulama Ahmad bin Daud masih tetap menjadi
qadi kerajaan. Pada suatu hari Qadi kerajaan ini cuba mengadili Imam Hambali
dengan melakukan perdebatan akhirnya Ahmad bin Daud kalah karena tidak dapat
mengemukakan alasan yang lebih kuat. Walaupun demikian Imam Hambali tetap
dimasukkan kembali ke dalam penjara.
Pada bulan
Ramadhan pengadilan terhadap Imam Hambali diadakan lagi. Khalifah Al-Muktashim
bertanya: “Al-Quran itu adalah baru, bagaimana pendapat anda.” “Tidak!,
Al-Quran adalah kalam Allah, saya tidak sejauh itu membahasnya karena di dalam
Al-Quran dan Hadist tidak disuruh membahas soal tersebut.” Jawab beliau.
Beliau dicambuk
sampai berdarah, pada hal ketika itu bulan puasa. Baginda berkata: “Kalau kamu
merasa sakit dengan pukulan ini, maka ikutilah saya, dan akuilah bahwa Al-Quran
itu makhluk, supaya kamu selamat.”
Penderaan pun
terus berlangsung, sehingga beliau terasa bahwa tali seluar yang menutup
auratnya putus dan hampir turun ke bawah. Beliau pun mengangkatkan mukanya ke
atas sambil berdoa: “Ya Allah!, atas namaMu yang menguasai Arsy, bahwa jika
Engkau mengetahui bahwa saya adalah benar, maka janganlah Engkau jatuhkan penutup
aurat ku.” Ketika itu pula seluar beliau yang akan jatuh itu naik ke atas
kembali sehingga aurat beliau tidak jadi terlihat oleh orang ramai.
Penyeksaan
terhadap beliau itu baru berakhir setelah selesai maghrib. Para hakim dan
orang- orang hadir kemudian berbuka puasa di hadapan beliau. Sementara beliau
dibiarkan saja tidak diberi sesuatu makanan untuk berbuka. Demikianlah
seterusnya, pada hari yang kedua pun beliau masih tetap didera sampai seluruh
badannya mencucurkan darah. Pada hari ketiga beliau masih tetap didera sehingga
pengsan.
Setelah
Al-Muktashim meninggal dunia ia diganti dengan puteranya Al-Watsiq. Pada masa
ini banyak penganiayaan dilakukan terhadap para ulama. Khalifah Al-Watsiq
inilah yang memancung leher ulama terkenal yakni Ahmad bin Naser Al-Khuza’i.
Kepala Ahmad bin Naser digantung dan diletak tulisan yang berbunyi: “Inilah
kepala Ahmad bin Naser yang tidak mau mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk, maka
Tuhan memasukkan Ahmad bin Naser ke dalam neraka, kepala ini menjadi peringatan
bagi mereka yang memalingkan dirinya dari kiblat.” Demikianlah tulisan yang
diletakkan dekat leher Ahmad bin Naser.
Kemudian
Khalifah Al-Watsiq meninggal dunia dan digantikan dengan saudara beliau yang
bernama, Al-Mutawakkil. Pada masa inilah dicabut tentang faham muktazilah dan
diadakan pembebasan terhadap semua ulama yang ditahan, termasuk Imam Ahmad bin
hambal. Sementara itu Imam Hambali setelah dibebaskan beliau diberi hadiah
sebanyak l0,000 dirham, namun hadiah tersebut beliau tolak. Karena dipaksa
untuk menerimanya, akhirnya beliau terima dan dibahagi-bahagikan kepada fakir
miskin.
Pada hari
Jumaat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M beliau meninggal dunia yang
fana ini dengan tenang dalam usia 77 tahun. Setelah mendengar wafatnya beliau,
seluruh Kota Baghdad menjadi gempar jenazah beliau disembahyangkan lebih dari
130,000 orang muslimin. Demikian berakhirnya riwayat seorang penegak kebenaran
dan meninggikan ilmu pengetahuan, setelah melalui berbagai seksaan dan
penganiayaan. Semoga mereka yang berjuang pada jalan Allah menjadi kekasih
Allah, yang selalu mendapat keberkahannya dan keridhoanNya.
Banyak lagi
mereka yang berjuang pada jalan Allah akhirnya menerima ujian dan cubaan dengan
berbagai penganiayaan dan seksaan.
Firman Allah
artinya:
“Apakah manusia
itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan. “Kami telah beriman, sedang
mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang- orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
(Al-Ankabut:
2-3)
0 comments:
Post a Comment