Friday, April 20, 2012

RELEVANSI SUNNAH DALAM ISLAM

RELEVANSI SUNNAH DALAM ISLAM

A.    PENDAHULUAN
Perdebatan modern mengenai kewenangan keagamaan terbentuk dari hal-hal yang orang muslim saksikan sewaktu mereka menoleh ke belakang kepada sejarah awal Islam. Akibatnya, perdebatan modern ini tidak boleh dodekati dalam kekosongan sejarah, seolah-olah perdebatan tersebut menggambarkan tantangan baru dan tidak terduga terhadap gagasan tradisional mengenai kewenangan keagamaan.
Berbagai kontroversi seputar sunnah, baik yang kuno maupun yang modern, harus dipandang sebagai akibat wajar yang esensial dari upaya orang Muslim untuk menyesuaikan doktrin terhadap perubahan keadaan. Karena sunnah merupakan symbol kewenangan Nabi Muhammad SAW., dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu, tidak ada perselisihan ajaran, kontroversi hukum, pembahasan tafsir, yang dapat dilakukan tanpa merujuk kepada sunnah. Bahkan bagi mereka yang mencoba menolak kewenangan sunnah, sunnah terbukti penting untuk diabaikan. Akibatnya, orang Muslim menghasilkan spectrum pendekatan mereka sendiri terhadap sunnah, suatu spectrum yang sungguh mirip dengan spectrum modern.. disinilah letak hubungan antara perdebatan kuno dan modern mengenai sunnah, dan pentingnya perdebatan lama bagi studi ini.

B.    RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah kali ini, kami akan memaparkan tentang relevansi sunnah dalam Islam dilihat dari;
1.    Konsensus Klasik
2.    Sunnah Nabi Muhammad SAW. dan sunnah-sunnah lainnya
3.    Sunnah dan Al-Qur'an
Dan beserta apa saja yang berkaitan tentang hal tersebut. Untuk lebih jelasnya mari kita pelajari bersama.

C.    PEMBAHASAN
1.    Konsensus Klasik
a.    Sunnah dalam Pandangan As-Syafi'i
Kebanyakan teori klasik mengenai sunnah memasukkan tiga elemen yang penting. Istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoriatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. dan yang dicatat dalam tradisi (hadis, akhbar) mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataaanatau perbuatan orang lain, serta karakteristik (shifat) kepribadiannya. Dengan demikian elemen pembatas pertama dalam doktrin sunnah, dalam bentuknya yang matang, merupakan identifikasi eksklusif istilah tersebut dengan Nabi Muhammad SAW., sunnah berdasarkan pengertiannya adalah sunnah Nabi. Elemen kedua teori klasik sunnah adalah identifikasi sempurna sunnah dengan riwayat-riwayat hadis yang bisa dilacak mata rantainya hingga Nabi Muhammad SAW. dan dinilai sahih, sunnah sepadan dengan tradisi autentik. Sifat pembatas sunnah yang  ketiga adalah, statusnya sebagai wahyu. Sunnah menurut ajaran klasik, diwahyukan oleh Allah melalui perantara Rasululah seperti halnya Al-Qur'an.
Blok-blok bangunan utama consensus klasik mengenai sunnah diletakkan oleh Muhammad Ibn Idris As-Syafi'i. Tampaknya As-Syafi'I sendirilah yang mengintregrasi blok-blok bangunan ini menjadi suatu system yurisprudensiyang saling terkait, dan secara efektif memperjuangkan pengadopsian metodenya sebagai satu-satunya pendekatan yang sah terhadap sunnah. Usahanya yang besar berupa identifikasi klasik sunnah dengan preseden spesifik yang digariskan Nabi Muhammad SAW., yaitu dengan tradisi autentik yang berasal dari Rasulullah sendiri. As-Syafi'I mengarahkan sebagian besar polemiknya terhadap gagasan fleksibel sunnah sebagai kumpulan praktik yang telah diterima dalam mazhab-mazhab hukum awal, yan goleh Schacht disebut sebagai "tradisi hidup" mazhab-mazhab.
Bukti keberhasilan As-Syafi'I dalam memperjuangkan identifikasi sunnah dengan hadist Nabi  SAW. dan dalammenegakkan superioritas sunnah atas sumber-sumber preseden lain adalah jelas; setelah As-Syafi'i, jarang kita menemukan istilah sunnah digunakan untuk selain sunnah Nabi Muhammad SAW.

b.    Sunnah sebelum As-Syafi'i
Kata sunnah mendahului kemunculan Islam, dan terbukti kebenarannya dalam sumber-sumber pra-Islam. Sunnah berasal dari makna akar kata kerja sanna, "membentuk" dan kemudian diperluas menjadi "melembagakan, membentuk, atau menentukan",  pengertian diatas menunjuk kepada tindakan, yang lewat tindakan itu menentukan sesuatu. Akibatnya, sunnah tentu saja menunjuk kepada suatu praktik yang ditentukan atau dilembagakan oleh orang tertentu atau sekelompok orang tertentu.
Gagasan pra-Islam tentang sunnah sangatlah hampir pasti diterapkan kepada Nabi SAW., bahkan semasa beliau masih hidup. Tidaklah mungkin seorang tokoh politik atau agama terkemuka dan mulia sperti Nabi Muhammad SAW. tidak dengan secara sadar berusaha diikuti oleh para pengikutnya.
Sejak awal, Nabi Muhammad, sebagai pembawa pesan Alah, telah menjadi focus kewenangan keagamaan. Namun, sewaktu Rasulullah tidak lagi bersama, orang-orang muslim tidaklah satu pikiran mengenai bagaimana pengganti kewenangan Nabi SAW.  seharusnya. Pada tahun-tahun awal setelah Rasulullah wafat, mungkin asumsi yang dominant, yang terlestarikan dalam gagasan Syi'ah tentang autoritas keagamaan adalah bahwa kewenangan Nabi SAW. dilanjutkan oleh pengganti yang karismatik. Gagasan keagamaan seperti itu akan membuat sunnah dalam formulasinya yang klasikmenjadi kurang lebih tidak relevan.
Oleh karena itu, gagasan Muslim awal mengenai sunnah berbeda dengan definisi sunnah klasik sunnah dalam beberapa hal penting. Pertama, orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad SAW. lebih tinggi daripada sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya. Kedua, pada tahap awal ini, orang muslim tidak selalu mengidentifikasikan sunnah dengan riwayat khusus mengenai Nabi Muhammad SAW, yaitu riwayat hadis tidak menjadi wahana eksklusif bagi sunnahnya sehingga tidak terjadi perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara sunnah dan al-Qur'an.

2.    Sunnah Nabi Saw. dan "Sunnah-Sunnah" lainnya
Pokok perbedaan yang sangat jelas antara gagasan sunnah pra dan pasca Syafi'I berkenaan dengan hubungan antara sunnah Nabi SAW. dan "sunnah-sunnah" lainnya. Hal pokok dalam system as-Syafi'I adalah keunikan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Di bandingkan dengan semua sumber kewenangan lainnya. Bagi as-Syafi'I, satu-satunya sunnah yang sejati adalah sunnah Nabi SAW., dan sunnah ini secara eksklusif dia identifikasikan dengan hadis-hadis autentik Rasulullah.
Akan tetapi, terdapat banyak bukti dari tulisan-tulisan as-Syafi'I sendiri, bahwa evaluasi sunnah Rasulullah berkembang dengan lambat, dan bahwa dalam pikiran orang Muslim awal sunnah Nabi SAW. hanyalah salah satu dari beberapa sumber potensial kewenangan keagamaan, termasuk al-Qur'an, sunnah para para sahabat, dan sunnah para khalifah yang pertama. Apapun Sumber tradisi ini, mereka yang menyebarluaskan dan mengutipnya, melakukannya guna menegaskan kesamaan dalam teori dan, dalam beberapa hal, superioritas dalam praktik sumber-sumber lain kewenangan tradisi dari Rasulullah Saw.

3.    Sunnah Nabi Saw. dan Hadis Nabi Saw.
Perdabatan penting kedua antara gagasan orang-orang muslim awal mengenai sunnah dan gagasan periode klasik, berkaitan dengan hubungan antara sunnah Rasulullah dan hadist. Kandungan sunnah, dalam penggunaan klasiknya, bersifat spesifik; sunnah koekstensif dengan hadist sahih yang bersambung sampai ke Nabi Muhammad SAW., sebaliknya, bagi banyak orang muslim awal, sunnah dan hadist secara konseptual tetap independent, an kedua konsep itu tidak sepenuhnya bersatu, hingga setelah as-Syafi'i. kita terutama menyaksikan pemisahan antara sunnah dan hadist dalam riwayat-riwayat sejarah awal, yakni "sunnah" sering digunakan dalam pengertian secara umum menunjukkan tidak lebih daripada "norma-norma yang bisa diterima" atau "adapt-istiadat" dan sunnah Nabi SAW., bukanlah berkonotasi sebagai perangkat preseden yang dapat dikenali dan khusus, melainkan seruan umum terhadap prinsip-prinsip keadilan.
Tulisan-tulisan teologis awal menawarkan lebih banyak bukti mengenai kebebasan "sunnah" dari preseden spesifik. Al-Hasan al-Bashri dalam kitabnya Risalah fi al-Qadar, menyebutkan sunnah Rasul dengan cara yang sangat umum namun tidak merujuk kepada kasus-kasus khusus, meskipun ada permintaan khusus Abdul Malik mengenai riwayat dari setiap sahabat Rasulullah. 
Anggapan bahwa gagasan sunnah berbeda dengan fenomena penyampaian hadist tidak seharusnya ditafsirkan sebagai menunjukkan bahwa pola penyampaian hadist itu sendiri merupakan perkembangan baru.

4.    Sunnah dan Al-Qur'an
Sejauh ini sebelum as-Syafi'I, sunnah merupakan suatu prinsip kewenangan yang teridentifikasikan sangat erat namun tidak eksklusif dengan Nabi Muhammad SAW., dan bahwa gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari preseden hadis spesifik. Kaum muslimin awal tidak membuat perbedaan yang tajam antara berbagai sumber kewenangan yang dalam periode klasik, dibedakan secara tajam. Selama tahun awal Islam, Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW., sunnah sahabat Nabi SAW., dan para khalifah awal berada dalam suatu massa tradisi yang sebagian besar tidak terdiferensiasi, yang keseluruhannya ditandai dengan aura wahyu.
Namun, dalam lingkungan keagamaan dan politik yang semakin rumit, pendekatan yang tidak sistematis ini tidak dapat bertahan. Pada saat konflik mengguncang masyarakat, timbul kebutuhan yntuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alas an-alasan yang diajukan orang yang menentang. Hal ini membutuhkan hierarki material yang diwahyukan, yaitu bukti-bukti yang disukai dapat dibenarkan dan bukti-bukti penolakan yang dapat dilenyapkan. Material "wahyu" yang banyak jumlahnya harus dibedakan secara sistematis. Akibat kemungkinan ini, timbul berbagai disiplin yurisprudensi (Ushul Fiqh), kritisisme hadist ('ulumul hadist), dan penghapusan (al-nash waal-mansukh).
Isu sentran dalam perdebatan ini adalah status relative berbagai sumber autoritas hukum; Al-Qur'an, Sunnah Rasul SAW., Sunnah para autoritas lainnya, dan berbagai metode pertimbangan hukum seperti qiyas dan istihsan.

D.    SIMPULAN

Kebanyakan teori klasik mengenai sunnah memasukkan tiga elemen yang penting. Istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoriatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. dan yang dicatat dalam tradisi (hadis, akhbar) mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataaanatau perbuatan orang lain, serta karakteristik (shifat) kepribadiannya. Dengan demikian elemen pembatas pertama dalam doktrin sunnah, dalam bentuknya yang matang, merupakan identifikasi eksklusif istilah tersebut dengan Nabi Muhammad SAW., sunnah berdasarkan pengertiannya adalah sunnah Nabi. Elemen kedua teori klasik sunnah adalah identifikasi sempurna sunnah dengan riwayat-riwayat hadis yang bisa dilacak mata rantainya hingga Nabi Muhammad SAW. dan dinilai sahih, sunnah sepadan dengan tradisi autentik. Sifat pembatas sunnah yang  ketiga adalah, statusnya sebagai wahyu. Sunnah menurut ajaran klasik, diwahyukan oleh Allah melalui perantara Rasululah seperti halnya Al-Qur'an.

Sejak awal, Nabi Muhammad, sebagai pembawa pesan Alah, telah menjadi focus kewenangan keagamaan. Namun, sewaktu Rasulullah tidak lagi bersama, orang-orang muslim tidaklah satu pikiran mengenai bagaimana pengganti kewenangan Nabi SAW.  seharusnya. Pada tahun-tahun awal setelah Rasulullah wafat, mungkin asumsi yang dominant, yang terlestarikan dalam gagasan Syi'ah tentang autoritas keagamaan adalah bahwa kewenangan Nabi SAW. dilanjutkan oleh pengganti yang karismatik. Gagasan keagamaan seperti itu akan membuat sunnah dalam formulasinya yang klasikmenjadi kurang lebih tidak relevan.
Pokok perbedaan yang sangat jelas antara gagasan sunnah pra dan pasca Syafi'I berkenaan dengan hubungan antara sunnah Nabi SAW. dan "sunnah-sunnah" lainnya. Hal pokok dalam system as-Syafi'I adalah keunikan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Di bandingkan dengan semua sumber kewenangan lainnya. Bagi as-Syafi'I, satu-satunya sunnah yang sejati adalah sunnah Nabi SAW., dan sunnah ini secara eksklusif dia identifikasikan dengan hadis-hadis autentik Rasulullah.
 Anggapan bahwa gagasan sunnah berbeda dengan fenomena penyampaian hadist tidak seharusnya ditafsirkan sebagai menunjukkan bahwa pola penyampaian hadist itu sendiri merupakan perkembangan baru.

Namun, dalam lingkungan keagamaan dan politik yang semakin rumit, pendekatan yang tidak sistematis ini tidak dapat bertahan. Pada saat konflik mengguncang masyarakat, timbul kebutuhan yntuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alas an-alasan yang diajukan orang yang menentang. Hal ini membutuhkan hierarki material yang diwahyukan, yaitu bukti-bukti yang disukai dapat dibenarkan dan bukti-bukti penolakan yang dapat dilenyapkan. Material "wahyu" yang banyak jumlahnya harus dibedakan secara sistematis. Akibat kemungkinan ini, timbul berbagai disiplin yurisprudensi (Ushul Fiqh), kritisisme hadist ('ulumul hadist), dan penghapusan (al-nash waal-mansukh).
Isu sentran dalam perdebatan ini adalah status relative berbagai sumber autoritas hukum; Al-Qur'an, Sunnah Rasul SAW., Sunnah para autoritas lainnya, dan berbagai metode pertimbangan hukum seperti qiyas dan istihsan.





E.    PUSTAKA

·    Al-Ghazali, Kitab Al-Musthofa, Juz III, Kairo 1435 H.
·    Al-Jurjani, al-Ta'rifat, Kairo, 1312 H.
·    Bravmann, The Spiritual of Early Islam, Leiden, 1972.
·    Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950, terj.
·    Juynboll, Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 1987.
·    Patricia Crone, Martin Hinds, God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam, Cambrige, 1986.
·    Muhammad Ibn Idris As-Syafi'I, Kitab Al Umm, Kairo 1321-1325 H.
·    William Graham, Divine Word and Propethic Word in Early Islam, Den Haag, 1997.

0 comments: